TINGKAHMU, BAHAGIAKU




Selalu ada cerita tentang anak-anak bujangku. Termasuk dari Abang-Adek Fadhlan, anakku yang nomor dua. Artinya, dia jadi adik sekaligus jadi abang karena punya abang dan adik. Hehehe...bingung, kan, manggilnya? Sama “membingungkannya” dengan tingkah anak bujangku yang satu itu. Membingungkan sama dengan menggemaskan serta segaris lurus dengan membuatku terkikik-kikik (bahasanya aneh, ya, hehehe). Umurnya dua setengah tahun. Setiap pagi, setelah bangun dari tempat tidur, dengan kepala kusut masai, karena rambutnya yang sangat keriting, dia tergopoh-gopoh menuju meja makan. Mencari minuman. Jika yang ada hanya gelas kosong, dia langsung menuju dispenser lalu mengisi gelas itu. Kemudian, glek, glek, glek (sengaja kutulis glek karena memang setiap dia minum selalu berbunyi). Ahhh, lalu gelas itu ditaruh. Barulah dia menyapaku. 

Aku selalu menyukai pemandangan pagi yang lucu itu. Karena setelah itu, aku akan memeluk dan menciumnya. Bau keringat bercampur aneka bau lain. Hmmm, menyenangkan. Sama menyenangkannya dengan mendengar dia berbicara. Sebagian besar kata-kata yang diucapkannya sudah jelas dan teratur. Kalimatnya mulai panjang. Ah, alangkah bahagianya, meski hanya mendengar dia mengucapkan: yup, Bunda benar! Pernah juga ada dialog “hebat” antara aku dan dia, setelah dia “kumarahi” karena mengganggu adik kecilnya.

Fadhlan: ya udah, adek pergi.
Bunda: pergi ke mana, dek?
Fadhlan: pergi ke pantai.
Bunda: ngapain ke pantai?
Fadhlan: lihat ikan
Bunda: ikan apa?
Fadhlan: ikan hiu. Bunda nggak boleh ikut ya (dengan gaya bicara seperti orang tua yang melarang anaknya)
Bunda: ikannya warna apa, dek?
Fadhlan: Pink.......(nama warna yang paling dia ingat)

Wkwkwkwk..., jadilah marahku berubah tawa ngakak mendengar “ngambek” anak bujang yang satu itu. Ada lagi kebiasaannya yang membuatku selalu tak jadi marah. Kalau terlanjur mengganggu atau memukul siapa saja, dia akan segera minta maaf sambil mengusap-usapkan tangannya. “Maaf ya dek”, “Maaf ya bun”, “Maaf ya Bang”, itu kalimat permintaan maafnya yang seringkali diiringi lagi dengan ulah lain. Saat si abang menangis minta dibawa ikut sama si ayah, dia dengan penuh kebijaksanaan berkata:
“Udah, Bang. Jangan nangis, Bang. Ayah beli makanan.” Sambil tangannya mengusap-usap punggung abangnya. 

Dan sekarang, ulah terbaru yang selalu dilakukannya adalah memilih-milih baju yang akan dipakai. Dia menolak untuk memakai baju kaus dan celana kaus yang biasa dipakai di rumah. Dia hanya mau mengenakan baju yang keren, katanya. Keren dalam pengertian dia adalah baju kemeja atau baju kaus bergambar mobil pemadam kebakaran dipadankan dengan celana jins. Jadi, menonton TV atau makan makaroni hingga berlepotan di mana-mana tetap harus steady. Itu baru keren, Bun. Duh, anak bujangku......love you.

Comments

belum lagi yg pas disuruh mandi ga mau... :) dia bilang ' ga mau ah, kan udah gantengg " huehehehe

Popular posts from this blog

MENJEMPUT REZEKI

Pulang Kampuang (2)

BUNDA VS AYAH:)