Semoga Nanti, Masih Ada Kapal ke Padang

Bismillaah















Rezeki akhir tahun 2019. Bisa bertemu keponakan baru. Naima Tsabita Sahza. Semoga Allaah selalu merahmatimu, Cinta...

Menyeberang ke Pulau Sumatera akhir tahun ini agak mendebarkan. Tahun lalu, di bulan yang sama, bisa pulang dan berkumpul di rumah ibu. Indahnyo. Dan ternyata tahun ini diberikan kesempatan berkumpul kembali, meski belum lengkap anggotanya, di Palembang. Dan perjalanan pun setengah perjalanan ke Payakumbuh. Setahun lalu, pas balik ke Pulau Jawa, "dihantui" tsunami Anyer dan Pandeglang. Penyeberangan Merak-Bakauheni yang normalnya sekitar dua jam harus dijalani selama 6 jam. 4 jam tambahan itu adalah waktu untuk kapal mengapung dan parkir di tengah laut karena cuaca yang masih ekstrim dan gelombang laut tinggi. Saat itu sempat membatin, mungkin akan butuh waktu lama lagi untuk mengumpulkan keberanian menyeberang lalu lagi. Apa daya, rasa rindu merajai rasa takut. Dan, inilah kami. Menyeberang kembali ke Pulau Andalas setahun kemudian๐Ÿ˜, menuju Palembang, tepatnya di Kota Plaju.

Niat awal ke Plaju memang untuk silaturrahim. Jadi mau berpuas diri bermain dan menikmati kebersamaan bersama Apa dan Ibu (datuk dan nenek anak-anakku), adik perempuan kedua, adik ipar, serta Nadhira, Nuha, dan Naima. Tapi, apalah mungkin ke Palembang tanpa menengok Jembatan Ampera? Tak mungkin๐Ÿ˜ƒ๐Ÿ˜ƒ๐Ÿ˜ƒ

Jadilah kami dua kali ke jembatan ikonik punya orang Palembang itu. Apa yang istimewa dari jembatan ini? Hmm, mungkin karena panjang dan lebarnya? Panjangnya lebih dari satu kilometer, membantu orang menyeberang Sungai Musi, sungai terbesar di Pulau Sumatera (Info ini memori pelajaran IPS zaman dulu. Semoga tak salah hehehe...). Ini kalau Jembatan Ampera cuma dilihat pada masa kini. Nah, biar lebih mantap, cobalah baca sejarah jembatan Amanat Perjuangan Rakyat ini dari sisi sejarahnya. Barulah nanti akan bertemu keistimewaannya. Bahwa jembatan ini bukan sekadar tempat untuk menyeberangi Sungai Musi. Tapi soal sejarahnya, tolong temukan sendiri, ya. Googling lah oi... ๐Ÿ˜

Kami ke sana di dua waktu, siang dan malam hari.  Kalau membawa kendaraan, parkirlah di tempat parkir Benteng Kuto Besak. Lebih dekat dan aman. Ada beberapa resto yang berada persis di pinggir Musi. Sila dipilih untuk tempat mengisi perut. Saya dengan terpaksa mengikuti pilihan anak-anak,  KFC, (tidak adakah tempat makan lain, jeritan hati. Wkwkw....) Eh tapi, makan di pinggir Musi ini sungguh asyik. Sambil ngunyah, sambil melihat kapal tongkang yang bolak-balik mengangkut batubara. Kapalnya besar, bisa bikin anak-anak terpana. Buat kami yang sehari-hari tinggal di Depok (you know lah gimana Depok), ini view lumayan luar biasa hahaha... Pas siang, panas terik nian. Jangan lupa bawa minuman. Asli, Palembang panas syekali. Kalau tidak pengen makan-makan, jalan2 saja di pinggir Musi. Areanya lebar buat tempat lari-lari bocah. Pedagang? Sedikit sekali. Ada dua tempat wisata lain di pinggir Musi ini: Museum Sultan Badaruddin dan Benteng Kuto Besak. Dua-duanya tak kami masuki hahaha... Museum dikunci, entah kenapa. Benteng? Cuma ditengok dari luar. Entah kenapa kami tak masuk. Oiya, penyebabnya adalah kami sudah kepanasan. Tak ada topi, tak ada payung. Wajah bocah udah merah dan kepala pusing tak karuan. Begitulah kira-kira alasannya. Yang akhirnya, pas malam hari ke sana lagi, kami menyesal. Karena pas malam, Benteng sudah ditutup wkwkwk... Eh, ada satu lagi. Pulau Kemaro. Lagi-lagi kami tak ke sana. Serem euy, naik speedboat membelah Musi. Sepertinya tak ada penumpang yang pakai lifejacket. Ngeri-ngeri sedaplah buat yang tak bisa berenang seperti kami (akhirnya alasan sebenarnya terungkap).

Malam hari... (Backsound PJ Masks....)

Cuaca bersahabat. Tak ada hujan. Palembang hangat. Tapi ternyata suasana di sekitar Jembatan Ampera superheboh. Ada pasar malam, euy. Yaelah, sengaja datang pas malam biar bisa menikmati pemandangan Musi dan Jembatan Ampera. Yang ada, buat jalan aja susah karena pedagang memenuhi lapangan di pinggir Musi. Penuh banget. Benar-benar pasar malam. Jadilah kami cuma berswafoto sekilas, membeli baling2 bambu, membeli buah dan minuman, lalu pulang. Eh, hampir lupa. Di dekat Jembatan Ampera, ada Masjid Raya Sultan Badaruddin. Masjid terbesar yang sudah berumur ratusan tahun. Jangan lupa singgah, ya. Ini salah satu masjid paling bersahabat dengan musafir. Masjidnya luas sekali. Area buat salat, tak seberapa. Ternyata selebihnya untuk tempat istirahat musafir. Bisa istirahat sepuasnya. Cakeplah...

Nah, satu lagi tempat yang kami kunjungi di Palembang: Bayt Quran Al Akbar. Ini sudah diincar dari mudik tahun lalu. Tapi baru kesampaian sekarang. Posisinya di Pesantren Al Ihsaniyah, Gandus, sekitar setengah jam (kalau tak macet) dari Plaju. Lokasinya agak masuk ke dalam dari jalan utama, persis di pinggir Musi. Aksesnya tak susah tapi sepanjang jalan disuguhi pemandangan yang agak bikin miris. Betapa pembangunan di negeri kita ini masih sangat belum merata. Provinsi sekaya Sumatera Selatan saja belum mampu membuat sejahtera rakyatnya. Aish, jadi mellow...
Kembali ke Bayt Quran Al Akbar. Aslinya ini adalah pesantren pada umumnya. Kelebihannya, mereka punya Alquran yang diukir di atas kayu ukuran raksasa. Kalau pernah ke Bayt Quran di TMII, pasti tahu di sana juga ada Alquran raksasa. Sepertinya sih ukurannya lebih besar yang di TMII. Bedanya, di Al Akbar ini, ayat-ayat Alquran diukir di atas kayu. Ukuran besar pulak. Jadilah, menurut saya, keren banget. Tiket masuk Rp 20 ribu untuk dewasa, Rp 15 ribu untuk anak-anak. Di dalam juga disediakan tempat sebentuk celengan bagi yang ingin berdonasi. Santri juga menjual air mineral khusus pesantren, yang 50 persen keuntungannya untuk kelanjutan perbaikan Bayt Quran ini. Tak mahal, Rp 10 ribu per botol 500 ml. Ya Allaah, semoga Engkau jadikan kami dan anak-cucu kami sebagai ahlul quran. Hidup dan mati dalam ketaatan kepada Allaah melalui Alquran. Tidak hanya sibuk berswafoto di depan foto Alquran.

Inilah, sekilas cerita kunjungan kami ke Kota Palembang. Untuk urusan kuliner, coba sajalah icip-icip mpek-mpek di sepanjang jalan di Palembang. Kayaknya enak semua hahaha... Oiya, sekarang sudah ada akses tol langsung dari Bakauheni sampai Kayu Agung, Palembang. Pas kami lewat, tol berbayar sampai Terbanggi biayanya Rp 112.500. Tol dari Terbanggi sampai Kayu Agung hingga tol dalam kota sampai Jakabaring masih gratis. Yeayyy....alhamdulillaaah. Biaya penyeberangan dengan kapal feri biasa Rp 359 ribu. Kalau yang ekspres (waktu penyeberangan sekitar separuh dari kapal feri biasa, satu jam) sekitar Rp 500 ribu. Rest area tol baru masih seadanya banget. Maklumlah. Tempat makan masih temporer. Malah ada yang hanya menyediakan toilet temporer. Pengisian BBM juga seadanya dengan boks Pertamina. Siap-siap saja full tank di perjalanan sepanjang tol karena di rest area baru ada Pertamax yang mihil (buat kami) itu hahaha... Karena tol masih sepi, jangan lupa diri, ya, kalian. Tetap, safety first.........

Semoga, tahun depan, masih ada kapal ke Padang, ke rumah Ibu...

Love
๐Ÿ’•Vinda














Comments

Popular posts from this blog

MENJEMPUT REZEKI

Pulang Kampuang (2)

BUNDA VS AYAH:)