CERITA DI BALIK PAYUNG

Pagi Minggu yang mendung
Mereka berdua sedang berbaring di balik payung

Kami sedang menunggu ayah di pinggir jalan. Di depan sebuah ruko, terlihat tumpukan kardus bekas yang sudah diikat rapi. Ada dua gerobak di sampingnya. Gerobak itu sekaligus berfungsi sebagai tempat menjemur beberapa potong baju dan celana. Di pojok emperan toko terlihat beberapa peralatan rumah tangga, seperti piring dan panci. Seorang laki-laki sedang sibuk mencukur kumis.


Lalu datang seorang ibu yang menggendong anaknya, seorang anak laki-laki berumur setahun. Adik kecil itu menangis, entah karena apa. Dia hanya menunjuk ke satu arah berulang-ulang dan terus menangis. Tangisnya tak kunjung reda. Si ibu, yang duduk di emperan toko, mulai kesal. Dia mencubit tangan si kecil, memukul mulutnya, mendorong-dorong sambil terus mengomel. Mungkin dia kecapekan menenangkan si kecil yang tak kunjung berhenti menangis itu. Tapi cara dia memperlakukan anak kecil yang belum tahu apa-apa itu membuatku marah. Sampai tebersit keinginan untuk mendekatinya dan mengatakan agar dia berhenti memukuli anaknya. Tapi tak mungkin.


Apa pun yang diinginkan si kecil itu, sama sekali tidak pada tempatnya dia berlaku begitu. Toh, anak sekecil itu belum mengerti soal apa yang diinginkannya. Kalau yang diinginkannya sebuah benda, pastilah dia tidak mengerti bahwa tidak mudah mendapatkan sesuatu bagi ibunya yang seorang pemulung. Mana dia mengerti kehidupan susah dan keras yang harus dilalui ibunya. Laki-laki yang tadi sibuk mencukur kumis mendekati si kecil lalu membujuknya dengan sepeda kecil. Si kecil tak peduli. Dia masih menangis. Duh, ingin sekali memeluknya lalu menanyakan dia mau apa. Isakan yang tak kunjung berhenti membuatku makin erat memeluk Akram, yang sepertinya sebaya dengan si kecil itu. Tak lama, si ibu membersihkan lantai di emperan toko dengan lap, lalu menggelar sebuah handuk lusuh. Dia menyuruh si kecil berbaring. Mungkin karena capek menangis, kulihat dia menurut. Mereka berdua berbaring di balik payung.



Farrel dan Fadhlan yang ikut melihat kejadian itu ikut berkomentar.

Farrel: "Eh, adeknya dipukul Bundanya, Bun."

Fadhlan: "Bundanya galak ya, Bun."

Farrel: "Kenapa si adek sama bundanya tidur di sana ya? Kasihan, ya, Bun."

Fadhlan: "Kenapa pakai payung, Bun? Kan nggak hujan?"


Aku mencoba menjelaskan kepada anak-anak bahwa mereka tinggal sementara di tempat itu. Tidak lama lagi mungkin mereka akan tinggal di rumah sendiri. Bunda adik kecil itu tidak galak. Dia hanya ingin adek kecil itu diam dan tidak terus menangis karena banyak menangis bisa bikin batuk. Dan Farrel Fadhlan harus mengucapkan Alhamdulillah karena punya rumah, tidak kepanasan dan tidak kehujanan. Mereka manggut-manggut. Walau mungkin tak sepenuhnya mengerti, aku bisa melihat simpati di wajah anak-anakku.


Hujan turun saat aku menulis ini. Teringat si kecil bersama ibunya, di emperan toko. Masihkah mereka di sana? Semoga tidak. Semoga saat ini mereka punya tempat berteduh yang lebih layak. Semoga si kecil yang kemaren tergugu menangis menjadi anak yang baik. Yang mendapat pendidikan yang baik. Yang bisa membahagiakan orang tuanya yang bekerja keras dengan keringat dan air mata. Aamiin.


* foto ini aku ambil saat mereka berdua berbaring di balik payung. Semoga saat ini mereka berbahagia

Comments

Popular posts from this blog

MENJEMPUT REZEKI

Pulang Kampuang (2)

Semoga Nanti, Masih Ada Kapal ke Padang