Belajar tanpa Anak


Baru saja, saya tercenung melihat iklan sebuah acara seminar parenting. Temanya bagus dan sangat pas dengan perkembangan terkini, tentang anak dan gadget. Tapi ada satu kalimat di bagian bawah yang membuat saya menarik nafas karena kecewa. "Tidak diperkenankan membawa anak". Sebuah persyaratan yang sungguh tak bisa dipenuhi oleh seorang ibu seperti saya, ibu dengan tiga balita. Artinya, mungkin seminar ini hanya ditujukan bagi orang tua yang: pertama, tidak punya anak; kedua, orang tua yang punya anak tapi bisa menitipkan anaknya kepada asisten atau nenek-kakek; ketiga, ibu yang tidak punya bayi yang harus menyusui atau yang menyusui tapi bisa memompa asi untuk si anak. Intinya lagi, seminar ini bisa diikuti oleh orang tua yang "tanpa anak". Sebesar apa pun ingin saya untuk belajar lewat seminar ini, saya takkan bisa memenuhi persyaratan itu. Kalau mau ikut, ya saya harus memikirkan cara untuk "mengesampingkan" anak-anak saya dulu.

Teringat tentang cerita seorang sahabat yang tinggal di luar sana, di sebuah negara yang sangat bersahabat dengan anak-anak. Saat mengurus surat ke kantor pemerintah setempat, dia, yang harus membawa anaknya ke mana-mana, benar-benar merasa nyaman. Kenapa? Karena di setiap kantor pemerintah yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik, ada sebuah tempat yang disediakan khusus untuk anak-anak. Jadi, saat orang tuanya mengurus ini-itu, si anak sibuk dengan aneka mainan dan kertas untuk diwarnai atau digambar. Urusan orang tua beres, anak pun senang. Di toko tempat dia berbelanja juga sama. Ada kids corner, yang menyediakan kertas cuma-cuma agar si anak berkreasi, sementara orang tua berbelanja. Benar-benar lingkungan yang ramah kepada anak-anak.

Ada juga metode pembelajaran untuk ibu-ibu yang dipelopori Institut Ibu Profesional. Semua ibu, tanpa kecuali, diajak untuk belajar online tanpa harus meninggalkan anak-anak. Para ibu belajar di samping anak-anak yang juga sibuk belajar, dengan aneka aktivitas seru mereka. Apakah mereka tak terganggu bila harus belajar di dekat anak-anak yang superheboh itu? Yang saya lihat, yang terjadi adalah kondisi sebaliknya. Ibu-ibu sambil menjaga anak-anaknya malah bisa belajar dengan riang. Mereka rileks menerima materi sambil diselingi tawa dan senyum anak-anak. Bukankah wajar-wajar saja jika suatu saat ada yang menangis, menjerit, atau bertingkah "heboh" lainnya? Justru itulah kesempatan sesungguhnya untuk belajar: belajar mencintai mereka tanpa syarat, belajar berkonsentrasi di antara keributan, belajar mengkondisikan mereka agar tenang saat dibutuhkan, dan sederet pelajaran lainnya. Repot ya? Pastinya. Tapi ternyata banyak ibu yang berhasil melaluinya.

Jadi, sepertinya belajar bersama anak-anak bukanlah sesuatu yang perlu dihindari, menurut saya. Contohnya, ya seminar parenting yang saya sebutkan tadi. Judulnya saja seminar parenting, seminar biar bisa jadi parent yang baik untuk anak-anak. Kalau ada parents, ya ada anak-anaknya dong. Toh, panitianya bisa mengakali bagaimana agar orang tua, yang kondisinya beragam, bisa ikut. Salah satunya mungkin bisa mencontoh cara di luar sana. Menyediakan tempat yang kondusif bagi anak-anak yang sudah bisa bermain sendiri. Ibu-ibu yang punya bayi bisa diposisikan di deretan tempat duduk yang memungkinkan mereka untuk keluar-masuk untuk menyusui atau saat si kecil menangis, tanpa mengganggu peserta lain. Saya pikir, seminar bagus yang sebenarnya ditujukan untuk tujuan yang bagus perlu memperhatikan hal ini. Bagaimana mungkin kita beralasan untuk belajar tapi harus "meminggirkan" buah hati kita. Bukankah lebih indah jika bisa belajar bersama mereka. Suka-duka bersama mereka itulah proses belajar sesungguhnya saat menjadi orang tua, menurut saya.

Comments

Popular posts from this blog

MENJEMPUT REZEKI

Pulang Kampuang (2)

Semoga Nanti, Masih Ada Kapal ke Padang