MENEMUKAN BUYA YANG TEDUH HATI



Judul Buku: Ayah...
Penulis: Irfan Hamka
Penerbit: Republika Penerbit
Tahun terbit: Mei, 2013 Cetakan: 1

Mata saya berbinar melihat tumpukan buku ini. Saya baru saja menemukan harta karun, yang hampir terlupakan. Bagaimana tidak? Dengan sangat sedikit informasi yang saya miliki, saya sebenarnya sudah mengidolakan beliau sejak kecil. Hanya tahu sepotong kisah tentang kehebatan beliau, saya memilih namanya, Hamka, sebagai nama kelompok saya dalam perlombaan cerdas cermat di sekolah dasar dulu. Sekarang, setelah belasan tahun berlalu sejak acara cerdas-cermat itu dan saya sempat "melupakan" Buya, membaca buku ini membuat kekaguman saya kembali membuncah kepada Urang Minang yang satu ini. Tiba-tiba rindu ingin "melihat" beliau lewat cerita, seperti yang pernah saya lakukan dulu.

Buku ini istimewa, menurut saya. Selain karena ditulis oleh anak kandung beliau, yang pastinya sangat tahu soal keseharian beliau, buku ini tergolong "tidak berat". Isinya lebih banyak tentang keseharian beliau sebagai suami, ayah, dan ulama. Ada bagian yang membahas politik, memang. Tapi ini sedikit. Jadi saya pikir pembaca tidak akan perlu mengerutkan kening saat membaca buku ini. Banyak cerita yang bersifat personal sekali, yang mungkin tak banyak diketahui khalayak. Buku ini dibuka dengan tiga nasehat besar, yang sangat diingat si penulis karena topik tersebut sangat relevan dengan kehidupan masa kini. Pertama, soal rumah tangga. Saat itu, seorang perempuan yang ingin bercerai dari suaminya meminta nasehat kepada Buya. Jawaban Buya saat itu:

"Ananda tahu, perceraian adalah suatu perbuatan halal yang tidak disukai Allah. Perceraian bukan saja perbuatan yang menyebabkan berpisahnya dua orang suami-istri, tetapi juga merusak hubungan kedua keluarga. Membuat anak-anak kehilangan pegangan." (Halaman 4)

Kedua, soal bertetangga. Yang digarisbawahi oleh Buya adalah kita sebagai manusia dalam berhubungan dengan sesama manusia, terutama tetangga sebagai bagian yang paling dekat, harus mencoba berprasangka baik dan memiliki keyakinan bahwa siapa pun bisa berubah menjadi lebih baik. Ketiga, soal kebohongan. Seseorang yang berbohong cenderung akan berbohong lagi untuk menutupi kebohongan yang pertama. Lalu akan berbohong lagi dan lagi. Buya mengatakan:

"Orang yang selalu berbohong, lama-kelamaan si pembohong ini tidak bisa lagi membedakan antara kebohongan dengan kebenaran yang diucapkannya." (Halaman 11)

Lalu, selanjutnya pembaca akan disuguhi dengan cerita-cerita keseharian beliau, yang sangat layak untuk menjadi teladan. Ciri khasnya: santun, sederhana, dan bersahabat. Tapi, untuk urusan akidah, beliau tidak mengenal kompromi. Dari sekian banyak kisah yang dituturkan anak kandung beliau, ada satu bagian yang sangat menarik, menurut saya. Yakni cerita tentang sosok perempuan hebat di balik nama besar Buya Hamka. Mungkin tak banyak pembaca yang mengetahui kisah ini.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa di balik kesuksesan seorang laki-laki, ada wanita hebat yang menyertainya. Rasullullah, misalnya, didampingi oleh perempuan hebat sekelas Khadijah. Dan Buya memiliki teman hidup bernama Siti Raham binti Rasul Sutan Endah. Sebagai pembaca, saya bisa merasakan betapa penulis sangat menyayangi wanita hebat yang biasa dipanggil Ummi tersebut. Karena, di balik kebesaran nama ayahnya, ada Ummi yang setia mendampingi saat suka dan duka. Beliau adalah wanita yang dinikahi Buya saat berumur belasan tahun. Ummi inilah yang menunjukkan ketabahan luar biasa saat berbagai cobaan mendera keluarga Buya. Tak heran, Ummi begitu dicintai Buya, bahkan tetap dicinta saat beliau telah tiada. Bagi Buya, Ummi Siti Raham adalah pendamping hidup, istri yang melahirkan dan menjaga anak-anaknya, manajer keluarga, sekaligus penasihat terbaik.

Dikisahkan dua keputusan besar yang diambil Buya, setelah berunding dengan Ummi. Saat itu, Buya sedang sibuk "menghidupkan" Masjid Agung Al Azhar. Pada tahun 1960, Buya ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler, pangkat kehormatan karena jasa beliau dalam menghimpun kekuatan rakyat Sumatera Barat dan Riau. Fasilitas yang didapatkan setara dengan Mayor Jenderal karir. Saat Buya berunding dengan Ummi, inilah yang dikatakan Ummi:

"Lebih baik Angku Haji tetap berperan di Masjid Agung Al Azhar, lebih terhormat di hadapan Allah." (Halaman 199)

Dan Buya pun memutuskan untuk menolak tawaran kehormatan tersebut. Berikutnya, pada tahun 1970-an, Buya ditawari untuk menjadi duta besar di Saudi Arabia. Tentang ini, istri tercinta beliau yang bersahaja memberikan pendapatnya.

"Angku Haji, umat mulai semarak saat ini. Dakwah yang makin semarak itu semua dimulai dari Angku Haji. Di masjid ini, apa yang Angku Haji bina telah terpancar dan dicintai umat. Apa semua yang baru ini akan ditinggalkan begitu saja dan diganti dengan kegiatan sebagai Duta Besar? Sebagai Duta Besar, hampir tiap malam nanti Angku Haji harus menghadiri jamuan yang diadakan oleh para duta Besar yang ada di Arab itu. Lalu kapan waktu tersedia untuk Angku Haji mengaji Alquran yang tidak pernah ditinggalkan sejak kecil? Kapan waktunya untuk membaca, menambah ilmu? Kapan pula waktunya untuk menjalankan hasil ilmu yang Angku dapatkan dari membaca itu?" (halaman 200)

Saat Buya menjadi tahanan pada 1964, Ummi adalah penjaga keluarga yang paling kuat dan tabah. Meski dalam kesulitan keuangan, beliau sama sekali tak sudi meminta sesuatu yang bukan haknya. Pernah suatu kali, Ummi bersama Irfan mendatangi rumah pemilik penerbitan yang pernah menerbitkan buku-buku Buya. Belum apa-apa, orang tersebut langsung menawarkan uang ihsan (sedekah). Wajah Ummi langsung memerah.

"Ummi datang kemari bukan untuk meminta sedekah. Ummi hendak bertanya, sebelum Buya ditangkap, apa masih tersisa uang honor Buya yang belum terbayar? Kalau masih ada, keluarkanlah. Bila tidak ada lagi, tidak apa-apa kami segera pulang. Untuk uang ihsan itu, berikanlah kepada orang yang lebih berhak," kata Ummi dengan suara tegas. (halaman 204)

Begitu teguhnya pendamping hidup Buya ini memegang prinsipnya. Tak berpunya bukan berarti berhak meminta-minta. Keteguhan hati ini berbalas rezeki dari Yang Maha Kuasa. Berturut-turut datang dua orang memberikan honor Buya yang belum dibayarkan kepada beliau. Saat itu Ummi menangis sejadi-jadinya sambil berkata:

"Allah telah memberi cobaan pada kita. Pagi tadi kita dianggap datang untuk mengemis. Sekarang Allah melimpahkan rezekinya kepada kita." (halaman 208)

Duhai, tak heran bila Buya sangat mencintai Ummi. Saat Ummi meninggal dunia, Buya sangat berduka. Salah satu bentuk kerinduan Buya kepada Ummi terlihat saat beliau dalam kesendirian mendengarkan Kaba, yang biasanya diiringi suara saluang atau rebab (alat musik khas Minangkabau). Jika selesai bersenandung, beliau akan mengambil air wudhu lalu shalat. Setelah itu, Buya membaca Alquran hingga mengantuk. Beliau bisa menghabiskan 5-6 jam sehari untuk membaca AlQuran.

"Ayah, kuat sekali Ayah membaca Al Quran?" tanyaku kepada Ayah.
"Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya, bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah."
"Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?"
"Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat taubat terlebih dahulu." (halaman 213)

Ah, sungguh kisah cinta yang jernih. Sederhana, tapi melekat hingga ke tulang. Membaca buku ini membuat kerinduan akan sosok Buya semakin bertambah. Betapa banyak sisi lain dari kehidupan beliau yang belum diketahui tapi sangat layak diketahui orang ramai. Betapa tidak? Kisah hidup beliau mengajarkan banyak hikmah. Dan ini dituturkan langsung oleh orang yang sangat dekat dengan beliau, darah daging beliau sendiri. Sekali lagi, tak perlu mengerutkan kening karena porsi cerita politik sedikit sekali. Hanya, ilustrasi berupa foto terlalu sedikit, menurut saya. Tentu lebih lengkap dan memuaskan jika cerita tentang Buya ditunjang dengan visualisasi pendukung.

Terakhir, ada kutipan kalimat Buya yang patut kita renungkan.

"Pegangan hidup Ayah yang lain dalam menghadapi perjuangan hidup ini adalah niat karena Allah, nasi sabungkuih, dan tinju gadang ciek. Artinya, niat karena Allah harus diyakini, tidak terombang-ambing dengan niat yang lain. Kegiatan apa pun yang kita lakukan, jangan lupa kesiapan logistik. Sekecil apa pun, walau hanya sebungkus nasi. Dan yang terakhir, jangan pernah merasa takut, gentar, mudah menyerah. Harus tegas dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan berpikir jernih. Itu diibaratkan sebuah tinju yang besar." (halaman 242)

Terima kasih, Buya. Semoga tetap ada orang-orang yang teduh hati sepertimu. Depok, 13 Januari 2015

Comments

Popular posts from this blog

MENJEMPUT REZEKI

Pulang Kampuang (2)

BUNDA VS AYAH:)