Wah, Ini Rasanya di Museum
Dulu, saat masih bersekolah, pelajaran sejarah adalah mata pelajaran yang membingungkan bagi saya. Bagaimana tidak, saya disuruh memahami sesuatu yang sudah terjadi ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun yang lalu. Beuh, bingung kan ya. Jadinya, sejarah bagi saya adalah pelajaran yang mengandalkan hafalan. Padahal, mungkin tanpa sejarah itu, kita bukan siapa-siapa ya, saat ini? Ya, mana saya tahu soal itu, dulu hehe... Sejarah bikin bosan. Cukup.
Dan belasan tahun kemudian...
Saya mengajak anak-anak dan suami mengikuti sebuah acara. Tempatnya di museum. Jiah, ke museum? Tapi, kenapa tidak? pikir saya lagi. Pasti sudah pada tahu kan yang namanya Museum Nasional atau Museum Gajah. Tempatnya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Tinggal menyeberang dari Monas. Posisinya gampang diakses, menurut saya. Apalagi ada bus TransJakarta. Saya juga dari dulu banget sudah sering mendengar nama museum ini. Tapi inilah pertama kali saya masuk ke dalamnya hihi...jadinya harap maklum kalo kebingungan pas cari parkir dan pintu masuk. Dan, tiket masuknya terjangkau banget. Dewasa Rp 5.000, anak-anak Rp 2.000. Murah, kan?
Taraaaa, pertama masuk langsung disambut patung-patung. Walah, ini kan patung-patung yang saya lihat di buku sejarah dulu. Ada Wisnu, Syiwa, Ganesha, dan seterusnya. Anak-anak bersemangat sekali. Plus kami diberondong aneka pertanyaan. Ya iyalah, ini kan pemandangan baru buat bocah-bocah imut ini ya? Untungnya, di tiap benda dan patung ada keterangannya. Jadi saya dan suami bisa sok pintar dan sok menguasai sejarah di depan anak-anak hihi...
Dan ternyata, Museum Nasional ini luasss dan tinggi (maksudnya banyak tingkatannya), yang tidak sanggup kami lihat semuanya. Beneran, deh, saya jadi kayak bernoltalgia dengan pelajaran sejarah waktu sekolah dulu. Bedanya, dulu saya menghafal benda semacam lingga atau nekara dan hanya melihat di buku. Sekarang, saya melihat langsung benda-benda itu. Beberapa bahkan sudah tidak utuh lagi. Seru juga, ya. Saya serasa berada dalam mesin waktu lalu kembali ke ribuan tahun lalu. Cieee, lebay. Maklum, ini kan pertama kali ke museum hehe...
Ada ruangan yang mengingatkan kita pada Taman Mini Indonesia Indah. Bedanya, di sini aneka rumah adat dibuat dalam bentuk miniatur yang dikumpulkan dalam satu ruangan. Jadi, kaki tidak terlalu capek kalau mau berkeliling. Dan di ruangan ini, suami sempat berujar: "Kalo diliat-liat, rumah gadang memang paling oke ya." Haha, itu yang ngomong orang Minang ya, jadi tidak boleh protes.
Ayahbunda masih menikmati tur museum, anak-anaknya sudah bosan dan minta keluar. Memang sih, di beberapa ruangan yang sepi banget, suasananya agak gimana gitu. Dingin dingin serem gitulah. Belum lagi bau khas benda dan ruangan yang tidak sering terkena matahari.
Baru sampai lantai dasar, kami memutuskan untuk menyudahi jalan-jalan di museum ini. Masih ada beberapa lantai lagi. Mungkin lain waktu ya.
Di sisa waktu dan kerewelan anak-anak, saya menyempatkan diri mampir di acara Reading is Happiness, yang sebenarnya adalah tujuan utama ke museum ini. Lumayan, sempat melihat talkshow Tere Liye dan Iwan Setyawan. Sayang, ada beberapa momen yang tak bisa diikuti. Jadi, yang mau ke acara buku dan sejenisnya, jangan lupa siapkan buku lama dan pulpen. Siapa tahu ada acara tukar buku (buku lama kita bisa ditukar dengan buku lain di stand tertentu) atau mengisi form ini-itu biar dapat buku gratis. Gara-gara harus antri pulpen sambil gendong anak, saya jadi nggak kebagian form buku gratis. Huaaa, sayang banget.
Sudahlah. Secara keseluruhan, jalan-jalan ke museum kali ini asyik. Semoga lain waktu, bisa datang lagi. Yang penting lagi, ini bisa jadi alternatif liburan yang murah meriah dan edukatif. Setuju?
Comments