Mengobarkan Semangat Home Education





Bagi ibu dengan 3 anak, tanpa asisten rumah tangga atau sanak saudara yang bisa dijadikan tempat penitipan anak hehe, keluar rumah untuk mengikuti acara tertentu adalah "sesuatu banget". Butuh perjuangan dan perencanaan yang matang, terutama bagaimana mengkondisikan anak-anak saat acara berlangsung. Alhamdulillah, hari ini kesempatan belajar di luar rumah kesampaian. Tentu saja dengan dukungan penuh dari belahan jiwa yang bersedia menjadi baby sitter ganteng untuk 3 jagoan kami (makasih banyak, ya, Ayah Ricky).

Dan di sinilah kami, di acara kuliah umum Institut Ibu Profesional cabang Bogor, persisnya di aula Masjid Alghifari, MB IPB,  Bogor. Ada duo pembicara keren: ibu Septi Peni Wulandani dan Enes Kusuma. Kenapa istimewa? Ya, iyalah. Mereka adalah pasangan ibu dan anak berhasil menerapkan home education dan homeschooling dalam keluarga. Dan, hasilnya? Monggo, ditanyain ke mbah Google soal prestasi mereka yang bergudang-gudang itu hehe.... Di sini saya akan sharing tentang materi hari ini saja.

Terus-terang, awalnya saya berharap yang pertama kali tampil adalah sang ibu. Pengen belajar langsung kepada ibu yang luar biasa itu. Apalagi, saya mengantisipasi seandainya tidak bisa mengikuti sesi sampai selesai. Maklum, ditungguin cowok-cowok ganteng di luar kelas. Eh, ternyata sang anak duluan yang tampil. Nurul Syahid Kusuma a.k.a Enes Kusuma namanya. What? 18 tahun? Saya membayangkan yang akan bicara di depan nanti adalah seorang wanita dewasa muda yang mungkin masih sedikit malu-malu tampil di hadapan orang banyak. Daaaaannnn, saya salah besar.

Beuh, public speaking-nya ranking atas deh. Saya salut. Dari awal tampil saja, Enes sudah dipastikan orang yang percaya diri. Suaranya lantang dan lugas. Dan yang paling saya suka, gaya bicaranya yang ceria, khas anak muda keren zaman sekarang. Dia bercerita tentang pendidikan yang didapat dari orang tuanya dengan diiringi slides yang ringkas. Ada beberapa poin yang saya catat (handoutnya nggak tersedia).

Diawali dengan semacam tag yang selalu didengungkan di keluarganya:
"Good is not enough.
We have to be different.
(Maaf ya kalo salah catat soale keburu pindah slide-nya hehe)
Poinnya: orang-orang pintar itu sudah banyak banget. Tapi untuk menjadi hebat, cobalah untuk berbeda. Buktinya, ya Enes sendiri. "Produk" homeschooling yang bisa berkuliah mandiri di Singapura. Kenapa kok dia bisa begitu ya? Jawabnya diturunkan dalam beberapa trik mendidik yang diterapkan orang tuanya. Di antaranya:

1. Kakak nggak selalu salah, kok. Ini berhubungan dengan manajemen konflik. Jangan terjebak dengan kalimat penyelesaian: "kakak ngalah ya sama adik". Saat anak terlibat konflik antar mereka, bersikaplah adil dengan melihat dari sisi semua pihak. Enes dan adik-adiknya dibiasakan untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri. Saat butuh bantuan, barulah bapak ibu datang.

2. Sekolah adalah sarana. Orang tua adalah pengemban tanggung jawab penuh akan pendidikan anak di rumah atau home education. Jadi, saat anak mereka lahir, bapak ibu Enes bertekad untuk menjadi pendidik terbaik dan pendidik utama. Bukan diserahkan kepada orang lain.

3. Yang wajib itu adalah belajar, bukan bersekolah.
Mereka sekeluarga terbiasa menggali ilmu ke sana-sini. Belajar via apa saja, di mana saja, dan dengan siapa saja.


4. Ayah bunda, aku berbakat.
Orang tua wajib sadar, anak terlahir dengan bakat personal, yang kemungkinan besar berbeda. Seperti saya: 3 jagoan berarti 3 bintang (Aamiin). Di sini nih perlu diperdalam lagi soal talent mapping.

5. Iman dan kehormatan.
Dua kata yang ditancapkan di dada mereka sekeluarga. Belajar agama itu bisa di mana saja yang mencakup semua hal. Ini dua hal yang tidak boleh ditawar lagi.

 6. Merantau
Bagi Enes, menjelajah banyak tempat memperkaya dirinya. Dia bisa belajar banyak hal pada saat secara fisik jauh dari ibu bapak. Good, Enes!

Di keluarga Enes, pada saat berumur 10 tahun, mereka diminta untuk membuat proyek sosial. Saat itu Enes melakukan proyek daur ulang sampah. Adiknya Ara membuat proyek pengolahan susu. Dan yang paling kecil, Elan, berkutat dengan robotik. Wow, 10 tahun? Saya bergidik. Hehe...

Well, like mother like daughter. Saya belajar banyak sekali hari. Dan saya belajar dari orang yang memang telah menjadi pelakunya. Jadi nggak cuma teori.

Sayang, perkiraan saya benar. Saya tak bisa mengikuti sesi selanjutnya. Kasihan, pasukan udah tak bersemangat menunggu. Ya, iyalah ya. Bagi saya, dua jam mendengar Enes bercerita itu nggak berasa lama. Tapi bagi 4 cowok yang harus menunggui Bunda tersayang keluar kelas, itu waktu yang lamaaaaaa banget hehe....Alhamdulillah, ini pun sudah sangat lebih dari cukup.

Semoga kita bisa menjadi pendidik terbaik untuk buah hati kita...
Note: Nggak sempat foto2 karena asyik dan belakangan tambah keasyikan karena duduk di kelas bersama Akram-ku...

Depok, 14 Desember 2014



Comments

Popular posts from this blog

Bangga Padamu, Nak

WARNA-WARNI JAGOANKU