MENABUR CINTA DENGAN TINTA
Judul buku: Three Cups of Tea
Penulis: Greg Mortenson dan David Oliver Relin
Penerjemah: Dian Guci
Penerbit: Hikmah
Cetakan: I, September 2008
Kasih sayang dan kepedulian memang tiada
berpintu. Hingga ia bisa menyapa siapa saja. Tanpa ada sekat bernama perbedaan.
Ia datang begitu saja.
Nun
jauh di tempat yang, mungkin, tidak dikenal oleh sebagian besar manusia di bumi
ini, terpapar kisah yang sangat indah. Cerita tentang manusia yang sejatinya
sangat berbeda, tapi menyatu dalam kelembutan kasih bernama kepedulian. Ini
bukan rekaan, tapi kisah nyata, yang akan “memaksa” kita membuka mata hati.
Greg
Mortenson, lelaki kelahiran Minnesota,
Amerika Serikat, yang menorehkan kisah sejati itu. Dan semuanya berawal dari
sebuah kegagalan. Merasa tertantang untuk menjadi seorang pendaki kawakan,
Mortenson berambisi menaklukan puncak tertinggi kedua di dunia, K2, di Karakoram, Pakistan. Keangkuhan sekaligus
kecantikan liar K2 menarik siapa pun untuk
menaklukannya, termasuk Mortenson. Takdir berucap lain. Ambisi menggapai titik
tertinggi, yang sekaligus dilakukan untuk mengenang adik tercinta yang telah
tiada, Christa, gagal total karena gletser bernama Baltoro. Peristiwa itu
menyeret Mortenson hingga sampai di sebuah desa bernama Korphe, yang kelak
menjadi kampung halaman keduanya setelah Montana.
Saat
ketulusan hadir, perbedaan tak akan terlihat. Itulah yang dirasakan Mortenson
saat diselamatkan penduduk Korphe. Sepertinya masyarakat di salah satu lembah
terpencil di Pegunungan Himalaya tersebut tidak pandang bulu ketika harus
menyelamatkan manusia. Mortenson dirawat dengan sangat baik. Dia juga
diperlakukan bak tamu istimewa. Padahal, selain belum kenal mengenal satu sama
lain, sedikit sekali persamaan di antara Mortenson dan penduduk Korphe. Ras
berbeda, agama berbeda, bahasa berbeda, adat istiadat berbeda, hingga sederet
perbedaan lain. Namun, rasa ingin berbuat baik sesama manusia ternyata mendapat
tempat teratas hingga mengalahkan semua perbedaan itu.
Selama
hari-hari pemulihannya di Korphe, Mortenson berkeliling untuk melihat-lihat
keadaan di desa terpencil itu. Mortenson berkeras ingin melihat sekolah di
Korphe. Awalnya, Haji Ali, sang pemimpin Korphe, tidak mau mengajak Mortenson
untuk melihat sekolah, tapi Mortenson memaksa. Dan Mortenson pun tercekat.
“Dia tertegun melihat delapan puluh dua anak-anak—tujuh puluh delapan
bocah lelaki dan empat perempuan (yang punya cukup keberanian untuk bergabung
di sini)—berlutut di atas tanah yang membeku, di tengah udara terbuka. Seraya
menghindari tatapan Mortenson, Haji Ali menjelaskan bahwa kampung ini tak
memiliki sekolah, dan pemerintah Pakistan tidak menyediakan guru
untuk mereka. Gaji guru setara dengan satu dolar sehari, jelas Haji Ali, dan
itu terlalu mahal untuk ukuran kemampuan desa mereka. Jadi, Korphe ‘berbagi’
seorang guru dengan desa tetangga, Munjung. Guru itu mengajar di Korphe tiga
hari sepekan. Hari-hari selebihnya, anak-anak ditinggal sendiri untuk berlatih
pelajaran apa saja yang diberikan guru itu pada hari sebelumnya.” (halaman 58).
Pemandangan mengharukan
itu akhirnya membuat Mortenson mengucapkan sesuatu yang akan mengubah kisah
hidupnya di masa datang.
“Aku akan membangun sebuah sekolah,” kata Mortenson. “Aku berjanji.”
(halaman 61)
Itulah
detik yang menandai perubahan hidup Mortenson. Tentu saja sebuah janji belum
tentu dengan mudah dapat diwujudkan. Apalagi, bagi seorang Mortenson yang tidak
punya apa-apa, selain mobil tua dan sedikit barang, yang dianggapnya berharga. Maka
dimulailah episode baru dalam hidup Mortenson. Hal pertama yang muncul di
benaknya adalah mengumpulkan dana dengan cara mengirimkan surat kepada orang-orang yang kira-kira bisa
memberikan bantuan. Di sini kita akan menemui sedikit kejutan. Dalam bab 5
disebutkan “calon” pahlawan ini ternyata belum bisa menggunakan komputer hingga
ia harus menyewa mesin ketik tua untuk menulis surat. Sampai akhirnya dia bertemu dengan
seorang pemilik toko fotokopi yang berbaik hati memberinya kursus gratis
komputer hingga Mortenson hanya perlu menekan tombol copy dan paste untuk
menulis surat-suratnya. Lima ratus delapan puluh
surat telah dia
kirim. Dan hanya satu yang kembali dalam bentuk cek 100 dolar. Beruntung, kisah
Mortenson yang ditulis dalam newsletter
Yayasan Amerika-Himalaya membuka mata hati
seseorang bernama Dr Jean Hoerni. Dia adalah dokter yang menyimpan kecintaan
khusus terhadap Pegunungan Karakoram. Akhirnya Mortenson mendapatkan 12 ribu
dolar dari dokter yang kasar tapi baik hati itu.
Merasa
sudah memiliki dana yang cukup, Mortenson kembali ke Pakistan untuk memulai misinya:
membangun sekolah. Dengan dibantu oleh penduduk setempat, Mortenson membeli
bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membangun sekolah. Kisah persiapan
pembangunan sekolah Mortenson begitu “nikmat” untuk dikunyah. Kita akan
disuguhi dengan suka duka melakukan jual beli dengan pedagang lokal yang licik,
pengusaha lokal yang cerdik, hingga penduduk biasa yang agresif demi sebuah
sekolah. Bayangkan, datang dengan setumpuk rencana untuk membangun sekolah,
tiba-tiba penduduk Korphe menginginkan pembangunan sebuah jembatan agar desa
mereka tidak terlalu terisolasi lagi. Apa yang harus dilakukan Mortenson dengan
dana yang sudah dihabiskan untuk membeli bahan-bahan bangunan untuk sekolah?
Dia sudah tidak punya apa-apa lagi. Akankah penduduk Korphe merasa sakit hati
karena harus menunggu “lagi”? Ada
kutipan yang sangat indah, yang bisa menjawab pertanyaan itu.
“Akan tetapi, bagi orang Korphe, menunggu
adalah bagian dari hidup, sama seperti bernapas di udara tipis pada ketinggian
tiga ribu meter. Enam bulan dalam setahun mereka habiskan dengan menunggu, di
ruang-ruang yang dipenuhi asap kotoran yak, sampai cuaca cukup ramah bagi mereka untuk kembali ke luar ruangan.
Seorang pemburu Balti akan mengikuti seekor ibex selama berhari-hari, jam demi jam dengan hati-hati mendekat untuk
mencoba mengambil resiko menembakkan peluru nan mahal, satu-satunya yang
sanggup dibelinya. Seorang mempelai lelaki Balti akan menunggu saat perkawinannya
selama bertahun-tahun, hingga gadis dua belas tahun yang telah dipilih orang
tuanya cukup dewasa untuk meninggalkan keluarganya. Selama puluhan tahun
penduduk Braldu telah dijanjikan akan dibuatkan sekolah oleh pemerintah
Pakistan, dan mereka masih tetap saja menunggu. Kesabaran adalah keahlian
mereka yang paling utama.” (halaman 193)
Ada lagi kisah mengharukan
yang menghiasi perjalanan Mortenson. Saat membawa bahan bangunan untuk sekolah
Korphe, tiba-tiba terjadi longsor. Perjalanan dengan truk tidak bisa
diteruskan. Lalu datanglah rombongan laki-laki Korphe dengan berjalan kaki
untuk menjemput bahan bangunan tersebut. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
para penduduk mengangkat kaso-kaso atap dengan berat puluhan kilogram dan lebar
beberapa meter melintasi batu dan salju. Hingga saya hanya terdiam haru saat
melihat foto rombongan “pejuang” tersebut. Mereka terlihat begitu bersemangat
dan kuat meski dengan beban yang sangat berat, demi satu tujuan: membangun
sekolah untuk anak-anak mereka.
Mortenson
tidak hanya memberi untuk Korphe. Banyak pelajaran yang dia terima dari orang-orang
Korphe, terutama dari Haji Ali. Saat Mortenson kasak-kusuk melihat lambatnya
pembangunan sekolah Korphe, Haji Ali mengatakan sesuatu yang tidak akan
dilupakannya.
“Gunung-gunung itu telah berada di sini lama, lama sekali,” ujarnya.
“Dan demikian juga kami.” Haji Ali memegang topi wol cokelat indah,
satu-satunya simbol kekuasaan yang dikenakan nurmadhar
di Korphe, dan memperbaiki letak benda itu di atas rambut peraknya. “Kau tak
bisa memerintah gunung-gunung,” lanjutnya dengan aura agung yang memesona
Mortenson. (halaman 278)
Dan seterusnya pembaca
akan disuguhi perjuangan demi perjuangan yang harus dilalui Mortenson untuk
mewujudkan semua mimpinya, termasuk kisah pertemuan dan percintaannya dengan
perempuan yang menjadi belahan jiwanya kelak, Tara.
Terlalu
berlebihan mungkin jika saya katakan buku ini begitu sempurna. Namun, begitulah
kenyataan yang saya lihat dan baca. Secara fisik, buku ini menampilkan gambar
dan tulisan yang tidak membosankan. Penerjemahnya juga berhasil memindahkan maksud
si penulis yang berbahasa Inggris dengan jelas dan mudah ke dalam bahasa Indonesia
yang baik. Kisah di dalam buku juga tidak perlu diragukan kehebatannya, untuk
menggugah hati pembaca. Satu-satunya kekurangan, kalau bisa disebut begitu,
menurut saya adalah foto-foto yang ditampilkan di bagian tengah buku tidak ada
yang berwarna. Semuanya hitam putih. Sehingga keindahan Korphe, Karakoram, dan
semua lokasi yang diceritakan menjadi tidak begitu nyata dan hanya bisa
dibayangkan dalam alam pikiran. Alangkah indahnya jika warna-warni menghiasi
foto-foto, yang sebenarnya sangat menakjubkan dan mengharukan itu. Terlepas
dari semua itu, pembaca sama sekali “tidak” akan merasa rugi membaca buku ini.
Terlebih lagi bagi orang-orang yang senantiasa “mempermasalahkan” perbedaan, bacalah
dan bukalah mata hati Anda!
Comments