Pulang Kampuang (2)

 Pulutan, Kami Datang!


Pulang barayo kali ini benar-benar dipenuhi semangat membara. Sudah lama tak merasakan suasana Rayo di Ranah Minang. Sudah terhitung tujuh kali Rayo. Jadi, ayuk kita pulang๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ’ช๐Ÿ’ช. 

Yang mau cari info soal persiapan mudik, monggo baca tulisan sebelumnya, ya๐Ÿ‘


Perjalanan pulang kampuang kami dimulai dari Depok. InsyaAllaah bakal menjalani ribuan kilometer menuju Ranah Minang, kampuang tacinto. Setelah buka puasa, kami langsung cuss menuju Merak. Lalu-lintas ramai tapi lancar. Karena mungkin masih jauh dari Hari Rayo. Di tol sebelum sampai ke Merak, jangan lupa beli tiket online di Ferizy.  Ada pengisian data yang butuh ketelitian. Kalau salah dan harus diulang, lumayan nyebelin. Data sudah vaksin atau belum juga sudah terlihat. Kalau pun sudah vaksin tapi tidak keluar datanya, tenang saja. Bisa ditambah keterangan manual. Anak-anak di atas 3 tahun sudah terhitung dewasa. Pas sampai di Merak, senangnya melihat kapal sedang menurunkan penumpang. Artinya kami bakal langsung naik tanpa harus menunggu lama. Dan benar terwujud. Kami langsung naik dan bisa parkir di bagian atas parkiran kapal. Jadi nanti ada pilihan mau keluar dari mobil atau hanya leyeh-leyeh di mobil karena udara terbuka. Qadarulah, kenyataan kadang tak seindah yang diinginkan. Setelah satu jam lebih, kapal tak kunjung berlayar. Harusnya, proses naiknya penumpang tak selama ini. Satu setengah jam berlalu. Ada satu mobil yang turun dari kapal. Perasaan mulai tak enak. Alamak, ternyata kapal kelebihan muatan. Tidak ada izin berlayar dari pihak berwenang. Jumlah kendaraan wajib dikurangi. Sementara kendaraan yang parkir kebanyakan sudah ditinggalkan oleh penumpangnya. Bus dan travel kosong jadi tak bisa diminta turun. Hanya ada beberapa kendaraan pribadi yang bisa "dipaksa" untuk turun. Daaan, karena kami termasuk tim leyeh-leyeh di mobil, jadilah terpilih untuk turun lagi dari kapal. Hiksss, mau gimana lagi. Kalau tidak mau mengalah, kapal tak bisa jalan. Kapal yang baru datang pun jadi harus antre lama. Sambil dikawal petugas dan sempat direkam blogger yang senyum-senyum melihat kami yang berstatus penumpang tak jadi, kami pun ikut atrean kapal berikutnya๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„. Yang penting stok makanan dan minuman aman. 


Setelah drama penumpang kapal pertama yang gagal, perjalanan relatif lancar. Penyeberangan sesuai waktu. Tapi ya begitu. Menyeberang di saat malam hari tak begitu asyik. Semua penumpang tidur karena tak bisa menikmati pemandangan laut yang indah. Di tol Bakauheni- Palembang juga relatif lancar. Rest area di wilayah Lampung lumayan banyak. Kamar mandi bersih dan air berlimpah. Hanya, tidak di semua rest area ada warung makan. Jangan lupa prepare roti, biskuit, dan sejenisnya, ya. 


Kami turun di ujung tol Kota Palembang karena janjian dengan Adek yang akan mudik bareng. Mencari kawan sehati untuk barengan ini penting sekali. Apalagi kawan berkonvoi yang sangat paham ketika kita sangat lelah dan harus berhenti berulang kali. Makasih, Bro n Sist๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„❤️. Meski turun di tol Kramasan, Palembang, kami memutuskan untuk balik ke lintas tengah. Padahal aslinya lebih dekat ke lintas timur. Ini karena kabarnya jalan di lintas timur rusak parah dan banyak kendaraan tertahan macet. Lumayan memakan waktu, sih. Tapi tak apa. Yang penting aman jaya. Btw, di perjalanan kami banyak terbantu Gmaps๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜ karena masih tergagap saat bertemu persimpangan yang tidak sedikit. Papan petunjuk jalan ada, tapi tak selalu sama dengan jalur yang biasa diambil pemudik. Di lintas tengah jalannya oke. Naik-turun tapi mulus. Saat melewati Lahat dan Tebing Tinggi, lumayan deg-degan. Malam soalnya. Gelap-gulita. Untung berkonvoi berdua. Dan sesekali bertemu kendaraan lain. Sempat terpaksa istirahat di rumah makan yang masih buka di Lahat. Targetnya istirahat lama di Lubuklinggau. Lebih aman. Jadi setelah istirahat sejam di Lahat langsung cuss Lubuklinggau dan beristirahat sampai sahur di Rumah Makan Simpang Raya, Lubuklinggau. Tempat ini recommended. Tempat parkir luas, kamar mandi lumayan bersih dan air berlimpah. Bisa menyewa ruang untuk istirahat. Kalau pun mau istirahat di mobil, juga sudah cukup. Kalau lapar, tinggal pesan makanan di restorannya. 


Setelah subuh, kami melanjutkan perjalanan menuju Jambi. Relatif lancar dan aman. Karena siang hari, harus sangat hati-hati saat melalui jalan di kampung. Lumayan ramai. Orang-orang bermotor tanpa spion. Santai kayak di pantai๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„. Banyak ayam, anjing, atau hewan lain yang tiba-tiba menyeberang. 


Dan tetiba bahagia tak terhingga saat melihat gerbang berbentuk Rumah Gadang penanda memasuki wilayah Sumatera Barat. Ah, akhirnya sampai di kampuang halaman. Begitu saja sudah bahagia. Meski untuk bertemu keluarga masih sekian jam lagi๐Ÿ˜. Titik pemberhentian berikutnya adalah Restoran Umega, Dharmasraya, Sumatera Barat. Ini adalah tempat istirahat legend. Sepertinya semua orang tahu Umega yang ini. Di sini fasilitasnya juga all in one. Semuanya ada. Sekadar info, harga makanannya pukul rata Rp 25 ribu/porsi, apa pun jenis lauknya serta berapa pun sayur dan nasinya. Jadi makanlah sepuasnya๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„. Eh, tapi pas balik dan mampir lagi, harga nasi rendang Rp 30 ribu. Begitulah, kadang memang harga makanan di jalanan itu tak terduga. Siapkan saja hati dan uangmu๐Ÿ˜๐Ÿ˜๐Ÿ˜. 


Next, rencana awal, setelah sampai di Sijunjung, kami akan berbelok di persimpangan Muaro Sijunjuang dan seterusnya ke Setangkai lanjut Lintau. Tapi karena disarankan tidak melewati Halaban yang jalannya rusak parah, orang tua kami menyarankan lewat jalur alternatif. Di sinilah awal bermula masalah๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„. Kami tidak paham detail daerah yang dijelaskan hingga hanya mengandalkan Gmaps. Alhasil, kami berputar-putar di kampung yang selama ini hanya pernah saya dengar namanya saja. Berasa sekali betapa sedikit pengetahuan saya soal daerah di kampung sendiri๐Ÿ˜. Sudah menjelang magrib, kami masih berkisar di daerah perbukitan. Jalanannya mulus, tapi sempit dan berkelok-kelok tajam. Kiri-kanan jurang dan bukit. Ada beberapa kampung di antara perbukitan. Tapi jaraknya berjauhan. Salah satunya, Sumanik. Berikutnya, saya tak ingat. Ujung-ujungnya keluar di Situjuh Tungkar. Ya Allah, kampung halaman Atuknya anak-anak tapi saya tak familiar. Apalagi malam hari. Saya benar-benar gagap geografis. 


Untunglah, tak lama sampaj di Labuah Basilang. Sudah wilayah perkotaan di Payakumbuh, tapi tetap saja kami masih agak bingung. Adek dan keluarganya yang sudah jauh di depan, sudah sampai di rumah orang tua kami. Kami? Buka puasa dulu di Sate Danguang-danguang di tengah pasar Payakumbuh. Obat lelah dan kesal karena harus berputar-putar mencari jalan jalan pulang tadi. Eh, btw, saat siang, sepertinya kampung-kampung yang kami lewati itu pasti elok dipandang. Tapi karena sudah malam dan tubuh sangat lelah, yang terasa cuma pengen cepat rebahan๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„๐Ÿ˜„. 


Akhirnya, saat Isya tiba, kami bisa mencium tangan Neneknya anak-anak di Jorong Pulutan, kampuang tacinto. Bertemu adek sholehah si bungsu. Ketemu lagi dengan teman konvoi yang duluan sampai dan sudah bersantai. Tapi belum bertemu Atuknya anak-anak yang sedang mengisi pengajian di luar. MasyaAllah, alhamdulillah. Sampai dengan selamat setelah melewati ribuan kilometer. 


Senang bukan kepalang. Lelah tak terbilang. Mari kita beristirahat. 

Next, lanjut lagi tulisan tentang Barayo di Kampuang Kito.


Depok, 11 Mei 2022.





Comments

Popular posts from this blog

Bangga Padamu, Nak

WARNA-WARNI JAGOANKU