Pulang Kampuang (3)
Barayo di Kampuang Kito
Akhirnya, dengan kasih sayang Allah, kami bisa berkumpul di rumah Ibu. Sebutan rumah Ibu lazim disematkan untuk menyebut rumah orang tua. Meski pemiliknya adalah Bapak dan Ibu, tetap saja lebih sering disebut di rumah Ibu. Mungkinkah karena matriakat sekali orang kampung kami? 😄😄😄
Bertemu nenek dan atuknya anak-anak sungguh karunia tak terkira. Mencium tangan mereka, memeluk tubuh mereka, melihat langsung senyum kebahagian mereka, mendengar cerewetnya mereka, menikmati naik-turun mood mereka😄😄😄. Ditambah si bungsu sholehah yang selalu setia menemani orang tua kami. Semoga Allah selalu merahmati hidupmu, Adiak Uni sayang❤️. Plus keluarga Adek dari Palembang. Belum lengkap sebenarnya. Masih menunggu adek yang masih di Pekanbaru yang baru akan pulang setelah sholat Ied.
Setelah sekian lama, kembali menikmati berbuka puasa di kampuang halaman. Senangnya tak terkira. Buka puasa pertama Ramadhan tahun ini di rumah Amak (nenek kami aka ayeknya anak-anak). Kumpul 4 generasi yang sungguh membahagiakan. Sungguh syukur harus berlipat ganda saat bisa bertemu dengan orang-orang tercinta. Amak adalah ibu kedua saya. Beliau yang merawat saya saat Ibu harus bekerja dulu. Sekarang, beliau sudah berumur 90 tahun. Sudah tak ingat anak-cucunya. Fisik beliau sehat karena ditempa kerasnya hidup sedari kecil. Tapi Allah mengurangi nikmat sehat pikiran beliau. Semoga Allah selalu merahmati Amak❤️. Ada etek yang ikut membantu merawat saya dulu saat kecil. Sepupu-sepupu yang beranjak dewasa dan jarang bertemu. Yang spesial, Etek memasak gulai daun paku (pakis) yang superlamak.
Keesokan harinya, muncul ide dadakan untuk jalan-jalan. Masih bulan puasa jadi bingung hendak ke mana. Tapi kalau berharap bakal bisa jalan-jalan dengan leluasa saat Hari Rayo sepertinya tak mungkin. Kabarnya, Barayo di kampuang sekarang dipenuhi orang dan kendaraan sehingga macet di mana-mana. Volume jalan tak berubah. Jumlah kendaraan berlipat ganda. Begitulah. Dengan pertimbangan itu kami memutuskan jalan ke Kota Padang. Mendatangi Masjid Raya Sumatera Barat yang terkenal itu dan Masjid Al Hakim, wakaf pengusaha kosmetik Wardah.
Perjalanan lancar. Sepertinya para pemudik belum banyak yang sampai di kampung jadi relatif sepi. Masjid Raya Sumatera Barat masih terlihat gagah. Ini kedua kali saya mengunjungi masjid tersebut. Tapi tetap takjub melihat desainnya. Syukurlah sempat menorehkan sujud di sini. Sungguh pantas menjadi salah satu ikon Sumatera Barat.
Next, Masjid Al Hakim di pinggir pantai Padang. Meski sempat nyasar karena mengandalkan Gmaps, rasa kesal terbayar dengan melihat indahnya Masjid ini dan hamparan pantai di samping. Perpaduan pemandangan yang elok dipandang. Kami sampai saat tengah hari. Kota Padang benar-benar dalam status sangat terik. Tapi tetap saja bahagia bisa mengunjungi Masjid ini❤️.
Berkunjung ke dua masjid ini saja sudah memakan waktu cukup panjang. Lumayan lelah apalagi saat itu kami berpuasa. Akhirnya kami memutuskan balik pulang ke Payakumbuh. Di Padang Panjang, tepatnya di Malibo Anai, kami singgah untuk berbuka puasa di iiBumi, tempat makan yang ternyata milik saudara suami. Menu yang tersedia belum lengkap. Tapi semua makanan yang kami pesan, rasanya juara. Bukan kaleng-kaleng. Ada sate, soto, sop, bubur kampiun, martabak mesir, bakso rusuk dan seterusnya (saya lupa apa saja yang dipesan😄😄)
Beberapa hari selanjutnya sebelum Hari Rayo, kami hanya bolak-balik di rumah saja. Quality time-lah bersama tersayang❤️. Masak bareng, nyuci bareng, main bareng, lari-larian di halaman rumah, main ikan bareng, goleran nggak jelas bareng, berantem nggak jelas bareng, dan terakhir main kartu UNO bareng😄😄😄.
Yang asyik adalah tradisi masak basamo sebelum Rayo. Meski cuma memasak sayur gulai tauco, rasanya bahagia sekali. Keliling berdua dengan adik bungsu untuk mencari bahan menggulai. Pajak alias kedai banyak yang sudah tutup. Ada yang masih buka tapi pembelinya membeludak. Di sini, kalau mau beli ayam atau ikan, masih dalam kondisi hidup. Dipotong dan dibersihkan langsung di depan mata. Ikan ambil sendiri di kolam yang tersedia. Dijamin fresh dan gurih.
Di malam takbiran, kami bernostalgia mengulang kaji lama. Memasukkan kue-kue kering ke toples sambil bercerita ini-itu. Dulu, persiapan mau Rayo sungguh melelahkan. Memasak kue sendiri, membersihkan rumah luar-dalam sampai beres, mengelap kaca jendela yang bikin bete karena ada teralis yang membuat tangan sakit. Cuci seprai dan gorden yang menyita tenaga. Sekarang, sungguh banyak kemudahan. Kue tinggal pesan. Bersih-bersih tak terlalu menyita tenaga. Mau cuci-cuci? Tinggal laundry. Alhamdulillaah😁 Cerita ini selalu kami ulang. Menyematkannya dalam sudut memori yang tak terlupa.
Hari Rayo pun tiba. Bergembira melaksanakan sholat Ied di masjid penuh kenangan. Tempat saya dan suami mengucapkan janji bersama atas nama Allah. Fisiknya jauh lebih indah daripada saat kami melaksanakan akad nikah dulu. Tapi kenangan akan prosesi penting itu jauh lebih indah❤️ Saking seringnya saya mengulang informasi penting ini, anak-anak sudah bisa menebak yang mau saya katakan setiap melewatinya. "Tempat nikah Bunda dan Ayah, kan?" 😄😄😄
Sepulang dari sholat Ied, kami disambut gulai putiah tauco, sate kuah kuniang dan katupek, dan lamang tapai. Lanjut silaturrahim ke kampuang Manganti, rumah Amak. Sorenya, kami kedatangan tamu dari pihak keluarga suami, yang mudik ke Bukittinggi. Adek yang tinggal di Pekanbaru pun sudah sampai di rumah Ibu. Senaaangg😁
Karena macet di mana-mana, kami sama sekali tak mengagendakan jalan-jalan ke tempat yang jauh. Tempat wisata populer pasti sangat penuh. Arah ke Bukittinggi, Padang Panjang, Padang, padat merayap. Jadilah kami di hari kedua berangkat pagi-pagi ke Batang Tabik, kolam renang yang cukup terkenal di Payakumbuh. Sstt, setelah sampai pada umur sekian saat inj, baru inilah saya menginjak Batang Tabik😄😄.
Ada yang istimewa di Batang Tabik ini. Airnya bersih tanpa kaporit. Karena berasal dari mata air yang tak berhenti mengalir. Tak seperti di kolam renang yang biasa kami datangi, anak-anak sama sekali tak merasakan perih mata. Padahal biasanya setelah berenang, keluhan pertama selalu selalu masalah mata merah yang perih karena terkena air kaporit.
Begini saja sudah membahagiakan. Yang penting kumpul-kumpulnya, kan? Apalagi dua hari berturut-turut setelah itu, Adek yang dari Palembang meneruskan mudik ke Medan, rumah mertuanya, dan yang dari Pekanbaru balik lagi ke rumahnya. Jadilah sisa dua hari di kampung, kami silaturahim ke rumah saudara dan menyambut beberapa saudara yang datang ke rumah. Hari terakhir, kami mengunjungi saudara di daerah Banja Loweh. Ada yang pernah ke sana? Nagari indah di lembah Bukit Barisan blok M aka Mudiak. Dan inilah pertama kali juga saya melewati daerah-daerah yang dulu hanya pernah saya dengar namanya. Ih, kok sombong nggak tahu daerah yang satu kabupaten dengan tempat tinggal saya? Bukan, bukan karena sok tak tahu. Tapi ini keterbatasan mobilitas kami dulu. Jalan dan akses kendaraan tak semudah sekarang. Jadilah perjalanan kami hanya berputar di sekitar tempat tinggal. Ditambah lagi, ini agak memalukan, saya tukang muntah. Naik kendaraan sebentar saja pusing dan mual. Perjalanan beberapa kilometer saja sudah menguras keringat dan air mata karena menjadi tukang muntah ini. Banja Loweh ini masih setengah dari nagari-nagari lain yang masih berada jauh ke arah puncak Bukit. Salah satunya Baruah Gunuang. Jadi kalau dulu ada kawan sekolah yang berasal dari Baruah Gunuang, betapa jauhnya perjalanan pergi dan pulang sekolah. Tapi yang tak terlupakan saat melewati nagari ini adalah pemandangan alamnya yang elok. Asli memanjakan mata. Membuat ingin berlama-lama menikmatinya. Benarlah kata orang. Sumatera Barat itu potensi pendapatannya bisa digenjot dengan eksplorasi wilayahnya yang indah. Tinggal dikelola orang-orang terbaik, wisata alam dan kulinernya pasti berjaya👍💪.
Berakhirlah Barayo di kampuang kito. Jangan lupa membeli sedikit oleh-oleh. Ini pun sebagai salah satu sumbangsih untuk mengangkat perekonomian lokal. Cieee, benar tak? Eh, iya jangan cari Alfamart atau Indomaret di Sumatera Barat, ya. Nggak bakal ketemu. Kalau mart-mart merek lokal, bertaburan di mana-mana. Terus mau kasih tahu, sate Danguang-danguang keluarga Bur yang terkenal itu bukan hanya ada di pusat Kota Payakumbuh dan Danguang-danguang. Ada cabangnya di daerah Simalanggang. Sudah tahu, ya? Kami baru tahu. Setelah gagal menikmati sate ini akibat antrean superpanjang hingga ke jalan di malam setelah Rayo😄.
Itulah carito cirutuk kami Barayo 2022 ini. Perjalanan pulang ke Depok alhamdulilah lancar karena, lagi-lagi, kami tidak berbarengan dengan arus balik. Mari bakureh lagi. Semoga lain waktu ada rezeki untuk bertemu dan berkumpul dengan yang tercinta di seberang sana.
Saat kapal di Bakauheni berlayar menuju Merak, bertambah panjanglah doa dilantunkan. Semoga nanti, selalu ada kapal ke Padang❤️
Sampai kita berkumpul kembali. Mohon lahir dan batin🙏❤️.
Depok, 11 Mei 2022
Comments