BOCAH PEMBAWA PAYUNG
Dia bertelanjang kaki. Payung yang dipegangnya berwarna merah dan
berukuran cukup besar jika dibandingkan tubuh kecilnya yang kurus. Bersama
beberapa anak kecil lainnya, dia menawarkan payungnya kepada orang-orang yang
keluar dari mal itu. Sayangnya, bocah yang paling kecil dibandingkan
teman-temannya itu tidak pernah dilirik orang-orang yang ditawari payung
tersebut. Apa mereka kasihan dengan tubuh kecil yang harus berhujan-hujan
mengiringi perjalanan mereka? Saya rasa tidak. Barangkali mereka hanya kurang
yakin dengan bentuk payung yang dipegang bocah itu. Memang, payung itu sudah
cukup usang dengan bentuk peot di sana-sini.
Bocah kecil itu masih menawarkan payungnya dengan suara memelas.
Akhirnya, saya memutuskan untuk menggunakan jasa bocah ini untuk mengantar saya
sampai ke tempat pemberhentian angkot. Langkah kecilnya begitu cepat mengikuti
langkah-langkah saya. Begitu terbiasa, nampaknya. Sambil merangkul tubuhnya,
agar tidak kehujanan, saya mencoba membuka percakapan dengannya.
“Namamu siapa,
Dek?”
“Ciptadi.”
“Sekolah, nggak?”
“Sekolah.”
“Kelas berapa?”
“Satu”
“Dimana?”
“Hmm…nggak tau.”
“Bapak kerja apa?”
“Sapu.”
“Kalau Mak?”
“Nggak
kerja, di rumah aja.”
“Oya, satu
kali ngantar orang dikasih berapa?”
“Seribu.”
“Oya, besok
jangan lupa pake sandal ya….ntar kakimu kemasukan cacing!”
“Ya.”
Kuulurkan uang sebagai balas jasa untuknya. Dengan sedikit senyum,
dia mengucapkan:” Terima kasih, Mbak.” Hujan masih turun, tapi untunglah
saya segera bisa naik angkot untuk pulang.
Bocah bernama Ciptadi masih senantiasa terbayang. Juga masih
terngiang suara kecilnya yang menjawab pertanyaan saya dengan jawaban singkat.
Wajah mungilnya yang seakan malu untuk menengadah dan menatap saya. Kaki
kecilnya yang berjalan cepat bahkan saya sampai memperingatkan dia agar
berjalan agak pelan. Ciptadi yang harus rela berhujan-hujan untuk mencari uang.
Yach..potret seorang bocah kecil yang harus belajar sejak dini untuk
berjuang mendapatkan uang. Bukan hanya Ciptadi yang saya temui itu, tapi masih
beribu Ciptadi lainnya, yang memiliki tujuan sama dengan cara berbeda-beda.
Kerasnya kehidupan, apalagi di kota besar seperti Jakarta, membuat mereka juga
harus kuat dan tahan banting untuk bertahan hidup.
Mencoba mengambil pelajaran dari seorang Ciptadi, saya rasa tidak
berlebihan. Ibarat cermin yang membantu kita untuk melihat diri, apakah sudah
mampu atau sedang berusaha untuk menjadi pejuang seperti dia. Satu lagi,
Ciptadi seharusnya membuat kita berpikir, apakah telah pernah terucap rasa
syukur atas setiap kelebihan yang diberikan Allah?
Avien
Comments