KAU GADIS PEMBERANI, ELI!



JUDUL BUKU: ELIANA
PENULIS: TERE-LIYE
PENERBIT: REPUBLIKA PENERBIT
TAHUN TERBIT: OKTOBER 2014, Cetakan VII

Membaca lembaran-lembaran awal buku berjudul Eliana ini, saya merasa biasa saja. Datar. Duhai, lama-lama saya terpikat. Bukan karena gaya bahasanya. Melainkan karena bernasnya cerita Eliana ini. Sederhana, menyentuh. Dan, entah kenapa, membaca buku ini membuat saya merasa de javu. Banyak sekali kemiripan dengan apa yang saya alami dulu. Gadis kampung, anak sulung, punya kelurga besar yang ekonominya pas-pasan, bapak-ibu yang disiplin, ibu yang galak, dan agak pintar (hehe....bukan sombong).

Yup, Eliana adalah cerita tentang gadis sederhana dari sebuah lembah di Bukit Barisan, Sumatera Selatan. Kisahnya diawali dengan kepergian Eliana dan rombongan dari kampung menuju kota. Agendanya, tetua kampung Eliana akan bernegosiasi dengan perusahaan tambang yang mulai mengeruk untung di kampung kecil mereka. Sesuatu terjadi. Eliana, yang tidak sengaja mendengar tawar-menawar tetua kampung dengan pengusaha, berteriak histeris. Dia tersinggung saat mendengar bapaknya dihina oleh si pengusaha. Reaksi Bapak Eliana:

“ Oi, suatu saat kau akan mengerti kalimat ini. Jangan pernah bersedih ketika orang-orang menilai hidup kita rendah. Jangan pernah bersedih karena sejatinya kemuliaan tidak pernah tertukar. Boleh jadi orang-orang yang menghina itulah yang lebih hina. Sebaliknya, orang-orang yang dihinalah yang lebih mulia. Kalian tidak harus selalu membalas penghinaan dengan penghinaan, bukan? Bahkan, cara terbaik untuk menanggapi olok-olok adalah dengan biasa-biasa saja. Tidak perlu marah. Tidak perlu membalas.” (halaman 32)

Sama dengan Eliana, saya tertegun membaca kalimat ini. Sungguh dalam sekali maknanya. Lalu, kembali pembaca disuguhi dengan kesederhanaan kehidupan Eliana dan keluarganya. Kesederhanaan yang membahagiakan. Kesederhanaan yang menyimpan hikmah tak terhitung. Tentu, karena apa saja yang terjadi dalam hidup kita saat ini, sudah ada yang mengaturnya. Tinggal bagaimana kita memahami apa yang sebenarnya ada di balik tiap peristiwa. Pernah suatu waktu, anak-anak di kampung Eli, panggilan Eliana, heboh karena selebaran “konyol”. Siapa yang menemukan selebaran itu dan tidak memperbanyak lalu tidak menyebarkannya, orang tersebut akan mendapat musibah. Burlian, adik Eli yang kedua, ikut termakan anjuran dalam selebaran. Beragam hal menggelikan terjadi. Lagi-lagi, Bapak memberikan petuah kepada anak-anaknya.

“Nah, Burlian, Pukat, Amel, bukankah Bapak pernah berkali-kali bilang, jangan pernah takut atas hal yang kasat mata di dunia ini. Jangan pernah takut pada sesuatu yang tidak sejati. Kalian keliru jika takut pada hal-hal yang remeh seperti itu. Melainkan takutlah berbuat jahat, mengambil hak orang lain. Takutlah menganiaya, berbohong, mencuri, dan merendahkan harga diri. Takutlah atas hal-hal seperti itu, sesuatu yang lebih sejati. Maka kalian tidak akan pernah takut dengan apa pun lagi.” (halaman 139)

Bukan main kalimat Bapak tersebut. Alangkah hebatnya jika kita mampu menerapkan apa yang disampaikan Bapak Eli. Jika bisa, betapa banyaknya manusia yang selamat di dunia ini. Aih, Eli beruntung dibesarkan di samping Bapak yang bijak. Bukan cuma Bapak yang senantiasa mencurahkan hikmah. Ada Nenek Kiba, guru mengaji yang tegas berilmu. Ada Pak Bin, guru terbaik yang memberikan segenap waktu dan ilmunya untuk pendidikan anak-anak. Pun ada Mamak, yang galak tapi berlimpah cinta dan perhatian. Jangan lupakan Paman Unus, adik laki-laki Mamak, bujangan pintar dan baik hati, yang selalu mengajak anak-anak Mamak berpetualang melihat dunia di sekitar.

Namun, selalu, ada yang pilu di antara lembaran hidup ini. Tentang Marhotap, sahabat Eli. Anak tukang batu yang awalnya saling benci dengan Eli. Berkat Pak Bin, mereka akhirnya malah tergabung dalam Geng Empat Buntal, geng pembela keadilan. Kelompok ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap perusahaan tambang yang seenaknya menguras kekayaan kampung Eli dan kawan-kawan. Puncaknya, Marhotap “menghilang” saat sendirian melawan kelompok penambang. Belakangan, kita akan mengerti bahwa “menghilang” artinya meninggalkan dunia untuk selamanya.

Di antara kesedihan karena Marhotap ini, ada Nek Kiba yang mengeluarkan kalimat bernas.

“Anak-anak, esok lusa ketika sudah besar, kalian akan menemukan segolongan orang yang pekerjaannya selalu merusak. Ketika dinasihati agar janganlah berbuat kerusakan, mereka dengan pintarnya menjawab, kami justru sedang berbuat kebaikan. Kami membawa kesejahteraan, melakukan pembangunan. Sejatinya, merekalah perusak itu.... Esok lusa, akan lebih banyak lagi orang kota rakus yang berdatangan. Maka ketika itu terjadi, camkan kalimatku ini. Jika kalian tidak bisa ikut golongan yang memperbaiki, maka setidaknya, janganlah ikut golongan yang merusak. Jika kalian tidak bisa berdiri di depan menyerukan kebaikan, maka berdirilah di belakang. Dukung orang-orang yang mengajak pada kebaikan dengan segala keterbatasan. Itu lebih baik.” (halaman 257)

Oi, benar bukan buatan kalimat Nek Kiba ini. Dan alangkah sukar melakukannya. Ada lagi yang mengejutkan dalam buku ini. Eli, si gadis manis pemberani, mengumandangkan azan? Ini yang membuat kampung gempar. Belum pernah ada perempuan yang melakukannya. Dan Eli melakukannya karena tak mau kalah saat ditantang teman sekelasnya. Dan jadilah gadis tanggung ini melakukan sesuatu yang membuat murka orang sekampung. Tapi ada yang justru membesarkan hati Eli dengan petuah indah, Nek Kiba. Kata beliau:

“Eli, aku tahu kau anak pemberani. Kau tidak mau diremehkan oleh siapa pun. Apalagi oleh anak laki-laki. Tapi kita hidup dalam aturan main, Nak. Kenapa buah pisang harus matang setelah sekian hari di tandannya? Kenapa lebah harus membuat madu? Kenapa air mendidih jika dipanaskan? Karena mereka taat dengan aturan main yang ada. Sekuat apa pun pisang menolak matang, air tidak mau mendidih, lebah menolak membuat madu, mereka harus menurut. Itu aturan alam, sunnatullah. Jika alam saja punya aturan main. Punya kaidah yang harus ditaati. Apalagi dalam agama, Eli. Perempuan tidak boleh azan selama masih ada laki-laki yang pantas melakukannya. Sama halnya dengan menjadi imam salat. Kau tidak bisa melanggarnya hanya karena ingin membuktikan perempuan bisa melakukan apa pun. Karena pemahaman kita, apalagi pemahaman kau yang masih terbatas, emosional, berbeda dengan pemahaman saat aturan itu diberikan. Kau paham, Eli?”

Saya sebagai pembaca pun paham maksud Nek Kiba yang bijak. Sungguh cara menegur seseorang yang sangat berkelas. Tak perlu marah-marah. Tak ada amukan. Yang ada, kebijaksanaan. Meski tak bisa ditahan, saya juga tersenyum membaca kisah Eli yang mengumandangkan azan ini. Selanjutnya teramat banyak hal-hal terbaik disampaikan dalam cerita Eliana ini. Disampaikan oleh orang-orang sederhana secara materi, tapi kaya-raya jiwanya. Dan, seperti yang banyak terbaca dalam tulisan Tere Liye yang lain, sangat jelas tergambar bahwa penulis ingin mengajak semua pembaca mencintai alam dengan segenap jiwa dan menjaganya hingga tak terbatas masa.

Dalam kisah Eliana, kita juga akan menemukan sisi normal lain dari remaja. Merasa tidak disayangi siapa pun di dunia ini jika sempat dimarahi. Ingin kabur ke dunia lain jika dianggap lalai akan sesuatu. Terdengar lazim, ya? Pun begitu halnya dengan Eli. Dia memutuskan pergi dari rumah karena dimarahi Mamak. Dalam pikirannya, Mamak sama sekali tak mencintainya. Hingga suatu ketika, Wak Yati, kakak perempuan Bapak yang menjadi tempat pelarian singkat Eli, menyampaikan sesuatu yang membuka mata Eli.

“Maksud Wawak, pernahkah kau memperhatikan, bukankah Mamak kau orang yang terakhir yang bergabung di meja makan? Bukankah Mamak kau orang yang terakhir yang menyendok sisa gulai atau sayur? Bukankah Mamak kau yang kehabisan makanan di piring? Bukankah Mamak yang terakhir kali tidur? Baru tidur setelah semua telah tidur? Bukankah Mamak yang terakhir beranjak istirahat? Setelah kalian semua istirahat? Bukankah Mamak kau yang selalu terakhir dalam setiap urusan? “
“Dan Mamak kau juga yang selalu pertama dalam urusan lainnya. Dia yang pertama bangun. Dia yang pertama membereskan rumah. Dia yang pertama kali mencuci, mengelap, mengepel. Dia yang pertama kali ada saat kalian terluka, menangis, sakit. Dia yang pertama kali memastikan kalian baik-baik saja. Mamak kau yang selalu pertama dalam urusan itu, Eli. Tidak pernahkah kau memperhatikannya?”

Duhai, saya ikut terenyuh membaca kalimat demi kalimat Wak Yati ini. Taka ada salah sedikit pun. Tak bisa dibantah, hampir semua ibu melakukan ini, menjadi yang terakhir sekaligus yang pertama. Isi buku ini benar-benar tak sembarangan. Berulang kali saya sebagai pembaca terdiam, tertegun, membenarkan kalimat-kalimat hikmah di dalamnya. Begitu dalam, begitu menyentuh. Sederhana, tak mengawang-awang.

Dan tak ada yang sempurna memang. Saya menemukan beberapa kekurangan kecil, yang sebenarnya tak terlalu penting. Terutama, setelah saya membandingkan empat buku dalam SeriaL Anak-anak Mamak ini. Misal, penggunaan kata “paman” dan “mang”. Atau kata “ayuk” dan “kakak”. Masing-masing pasangan kata itu memiliki arti sama. Menurut saya, penggunaan kata panggilan yang lebih menonjolkan bahasa daerah setempat justru lebih mendekatkan pembaca dengan latarnya. Dalam beberapa dialog saya juga menemukan percakapan yang terlalu “keren” untuk anak-anak di kampung pedalaman. Mirip dengan dialog anak-anak di kota macam Jakarta. Tapi sekali lagi, kekurangan itu tidak ada apa-apanya jika menengok lagi untaian kebijakan dalam cerita ini. Saya akan menutupnya dengan rangkaian kalimat yang membuat saya tak mampu menahan air mata. Kalimat yang sering diulang dalam satu buku, tapi tak akan pernah bosan saya membacanya.

“Jika kau tahu sedikit saja apa yang telah seorang ibu lakukan untukmu, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian.” (halaman 393)

Depok, 9 januari 2015

Comments

Popular posts from this blog

Bangga Padamu, Nak

WARNA-WARNI JAGOANKU