Finger Painting yang Bikin Pontang-panting
Sore itu. Badan capek bukan buatan. Seharian mengurus anak-anak dan rumah, yang nyaris tak pernah benar-benar rapi. Tiba-tiba kulihat sesosok tubuh kecil berlari di depan rumah. Baju dan celananya basah serta dipenuhi tanah. Kedua tangannya berwarna putih. Belum sempat aku meraihnya, dia sudah berlari dengan tangan berlumur cairan putih. Ternyata dia baru mengaduk air kapur sisa tukang cat depan rumah. Aku berusaha mengejar sambil berteriak membujuknya agar berhenti. Tapi dia terus berlari sambil tertawa-tawa. Berikutnya, kakiku bertambah lemas saat tangan kecilnya membuat lukisan jari tangannya di mobil tetangga. Bukan satu mobil, tapi tiga mobil yang menjadi media lukisnya.
Aku marah dan langsung membawanya pulang. Kusuruh dia menunggu, mungkin lebih pasnya time out, di kamar karena harus buru-buru membersihkan mobil tetangga yang sudah dilukis anak tengahku itu.
Saat memandikannya, setelah setengah jam sebelumnya mandi, aku masih sedikit mengomel. Aku baru tenang saat memakaikan bajunya. Dia terlihat terluka dan bingung.
Bunda: "Adek tau nggak yang dipegang tadi itu apa?"
Adek menggeleng-menggeleng.
Bunda: "Itu namanya kapur. Dan itu bukan untuk mainan. Itu buat ngecat dinding rumah."
Adek: "adek mau ngecat mobil." Aku jadi tak bisa menahan senyum mendengar jawaban polosnya.
Bunda: "tapi itu bukan untuk ngecat mobil. Adek kan belum bisa ngecat mobil. Biar aja bapak yang di bengkel yang ngecat mobil, ya. Ntar kalo udah besar, adek bisa ngecat mobil sendiri. Adek ngerti?"
Dia mengangguk. Meski aku tak yakin dia paham apa yang sesungguhnya aku maksudkan.
Bunda: "lain kali jangan diulangi lagi, ya. Sini Bunda peluk."
Dan aku memeluknya dengan sepenuh hati. Menciumnya dan tak lupa meminta maaf karena kemarahanku tadi.
Ah, bujang keritingku tersayang. Ada saja tingkahnya. Dan selalu saja, pada akhirnya, akulah yang harus belajar dari anakku itu. Seperti kejadian barusan. Aku terlalu fokus pada akibat dari keisengan anakku. Anak berantakan, tetangga yang marah karena lukisan tangan si kecil, malu, dan aneka perasaan negatif lain. Lalu aku jadi melupakan proses belajar yang sedang dilalui anakku. Bukankah sebenarnya tidak ada yang salah, saat bocah tiga tahun yang polos melampiaskan imajinasinya yang bebas dengan gaya bocah pula? Polos, cuek, lepas, riang, bahagia. Toh, mobil yang kotor atau sedikit ada baret bisa dibersihkan lagi. Sementara keriangannya saat belajar tanpa beban takkan terganti apa pun.
Duh, lagi-lagi harus menangis karena malu akan tingkahku sendiri. Apalagi sembari memandangi si muka polos yang superkreatif itu. Wajah yang tak pernah menyimpan kesal. Wajah yang tetap bisa tersenyum dan terbahak meski baru saja dimarah. Makin cinta padamu, Fadhlan. ^-^
NB: beruntung, tetangga tak ada yang komplain soal finger painting ala anakku ini. Alhamdulillah...
Comments