go
classic novel
Uncle tom's cabin
Saya baru menamatkan versi asli berbahasa Inggris novel Uncle Tom's cabin, setelah sekian lama mencarinya. Mungkin banyak yang sudah sangat familiar dengan novel karya Harriet Buthcer ini. Sebab, novel itu adalah salah satu novel yang dianggap rasis karena secara tak langsung menyuarakan penderitaan para budak pada abad pertengahan di Amerika. Dulu saya sering bertanya-tanya, apa sih kehebatan novel ini hingga begitu melegenda di dunia sastra. Saat membacanya, barulah jawaban itu saya dapatkan.
Novel ini bercerita tentang seorang budak kulit hitam yang biasa dipanggil Uncle Tom di Kentucky. Laki-laki paruh baya ini tinggal bersama keluarganya di sebuah kabin, persis di samping rumah induk yang dihuni sang majikan, Mr Halley. Berbeda dengan kondisi para budak umumnya pada zaman itu, kehidupan Tom boleh dibilang sangat baik. Dia dipekerjakan oleh seorang majikan yang baik hati. Bahkan Tom sangat dipercaya untuk mengelola ladang kapas majikan, Mr Halley.
Begitu bahagianya kehidupan Tom hingga suatu hari yang merubah segalanya menjadi mimpi buruk. Tom, dengan sangat terpaksa, dijual oleh Mr Halley kepada seorang pedagang budak. Saat itu, Halley membutuhkan uang dalam jumlah besar dan harga Tom mampu mencukupi kebutuhan itu. Dia berjanji, suatu hari nanti akan membeli Tom kembali.
Dimulailah babak baru kehidupan Tom. Ia dijual kepada seorang majikan yang sebenarnya cukup baik, tapi sama sekali tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Dia hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri. Bahkan keluarga, istri dan anaknya, pun tidak diperhatikan. Anak tunggal sang majikan, Eva, gadis kecil yang sangat cantik, sangat dekat dengan Tom. Ia juga membantu Tom menulis surat untuk keluarganya di Kentucky. Sayang si gadis kecil itu menderita sebuah penyakit yang akhirnya membawa dia ke kematian. Rasa sakit karena kehilangan putrinya itu menjadikan sang majikan jatuh sakit. Sebelum meninggal, dia sempat menjanjikan kebebasa buat Tom. Tapi sebelum janji itu sempat ditunaikan, dia meninggal dunia. Sang istri majikan menjual Tom kepada seorang majikan yang ternyata sangat kejam.
Di tempat baru itu, Tom harus menghadapi perlakuan yang sangat buruk. Apalagi dia secara terang-terangan sering memberikan bantuan kepada budak lainnya, yang sering disiksa oleh para mandor atas perintah sang majikan. Puncaknya, saat dua orang budak perempuan, Emily dan Chessy, melarikan diri. Majikannya memaksa Tom buka mulut karena ia yakin Tom tahu banyak hal. Ia juga mencurigai Tom menjadi dalang pelarian itu. Siksaan demi siksaan dialami Tom. Tapi ia tetap bungkam. Sampai akhirnya ia sekarat dan dilempar ke sebuah gudang. Saat itulah, Mr George, putra Mr Halley, datang menjemputnya. Ia berniat membeli Tom kembali. Sayang, Uncle Tom meninggal di pangkuan George.
Tragis, itulah gambaran yang ada di benak saya saat membaca kisah itu. Ini bukanlah kisah nyata tapi penulisnya, Harriet, terinspirasi dari kisah nyata yang dilihatnya sendiri pada zaman itu. Pada zaman itu, abad pertengahan, perbudakan masih sangat biasa. Namun ada perbedaan antara wilayah utara Amerika dan selatan. Di selatan, para budak diperlakukan sangat kejam dan banyak yang mati karena penindasan yang mereka alami. Sedangkan di utara, kondisi para budak jauh lebih baik. Meski status mereka adalah budak, tapi perlakuan yang mereka terima masih cukup manusiawi. Karena itu, banyak budak dari selatan yang mencoba kabur menuju Utara, misalnya ke Kanada. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal karena bisa dikejar oleh orang-orang suruhan majikan mereka. Jika sudah tertangkap, mereka tidak akan dibiarkan hidup.
Saya belum bisa membayangkan betapa buruknya kondisi kemanusiaan saat itu. Kenapa ada orang yang sebetulnya “benar-benar manusia” diperlakukan seperti benda atau binatang. Dijual-belikan seenaknya dan diperlakukan dengan kejam. Membunuh para budak seperti membunuh kecoa, tanpa dosa dan rasa. Yang lebih parah, tidak pihak yang berdaya untuk melakukan meski sedikit perubahan.
Tidak mengherankan jika kehadiran novel ini dianggap sebagai pemicu kerusuhan para budak pada waktu itu. Hebatnya, kerusuhan itu menjadi salah satu trigger yang akhirnya membuat “dunia” melirik masalah perbudakan ini. Inilah barangkali yang membuat novel tersebut menjadi sangat fenomenal.
Dari sisi bahasa, novel ini terlihat biasa saja. Bagi pembaca zaman sekarang yang lebih familiar dengan bahasa Inggris “modern” mungkin akan sedikit kesulitan karena bahasa Inggris yang digunakan bentuknya masih Inggris “lama”. Untungnya, untuk kosakata, sedikit terbantu dengan catatan kaki yang ditambahkan pada beberapa halaman.
Terlepas dari kekurangannya, novel ini bisa disebut salah satu novel yang “luar biasa” menyentuh.
Velbak, 03012006, 20.00
Saya baru menamatkan versi asli berbahasa Inggris novel Uncle Tom's cabin, setelah sekian lama mencarinya. Mungkin banyak yang sudah sangat familiar dengan novel karya Harriet Buthcer ini. Sebab, novel itu adalah salah satu novel yang dianggap rasis karena secara tak langsung menyuarakan penderitaan para budak pada abad pertengahan di Amerika. Dulu saya sering bertanya-tanya, apa sih kehebatan novel ini hingga begitu melegenda di dunia sastra. Saat membacanya, barulah jawaban itu saya dapatkan.
Novel ini bercerita tentang seorang budak kulit hitam yang biasa dipanggil Uncle Tom di Kentucky. Laki-laki paruh baya ini tinggal bersama keluarganya di sebuah kabin, persis di samping rumah induk yang dihuni sang majikan, Mr Halley. Berbeda dengan kondisi para budak umumnya pada zaman itu, kehidupan Tom boleh dibilang sangat baik. Dia dipekerjakan oleh seorang majikan yang baik hati. Bahkan Tom sangat dipercaya untuk mengelola ladang kapas majikan, Mr Halley.
Begitu bahagianya kehidupan Tom hingga suatu hari yang merubah segalanya menjadi mimpi buruk. Tom, dengan sangat terpaksa, dijual oleh Mr Halley kepada seorang pedagang budak. Saat itu, Halley membutuhkan uang dalam jumlah besar dan harga Tom mampu mencukupi kebutuhan itu. Dia berjanji, suatu hari nanti akan membeli Tom kembali.
Dimulailah babak baru kehidupan Tom. Ia dijual kepada seorang majikan yang sebenarnya cukup baik, tapi sama sekali tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Dia hanya sibuk memikirkan dirinya sendiri. Bahkan keluarga, istri dan anaknya, pun tidak diperhatikan. Anak tunggal sang majikan, Eva, gadis kecil yang sangat cantik, sangat dekat dengan Tom. Ia juga membantu Tom menulis surat untuk keluarganya di Kentucky. Sayang si gadis kecil itu menderita sebuah penyakit yang akhirnya membawa dia ke kematian. Rasa sakit karena kehilangan putrinya itu menjadikan sang majikan jatuh sakit. Sebelum meninggal, dia sempat menjanjikan kebebasa buat Tom. Tapi sebelum janji itu sempat ditunaikan, dia meninggal dunia. Sang istri majikan menjual Tom kepada seorang majikan yang ternyata sangat kejam.
Di tempat baru itu, Tom harus menghadapi perlakuan yang sangat buruk. Apalagi dia secara terang-terangan sering memberikan bantuan kepada budak lainnya, yang sering disiksa oleh para mandor atas perintah sang majikan. Puncaknya, saat dua orang budak perempuan, Emily dan Chessy, melarikan diri. Majikannya memaksa Tom buka mulut karena ia yakin Tom tahu banyak hal. Ia juga mencurigai Tom menjadi dalang pelarian itu. Siksaan demi siksaan dialami Tom. Tapi ia tetap bungkam. Sampai akhirnya ia sekarat dan dilempar ke sebuah gudang. Saat itulah, Mr George, putra Mr Halley, datang menjemputnya. Ia berniat membeli Tom kembali. Sayang, Uncle Tom meninggal di pangkuan George.
Tragis, itulah gambaran yang ada di benak saya saat membaca kisah itu. Ini bukanlah kisah nyata tapi penulisnya, Harriet, terinspirasi dari kisah nyata yang dilihatnya sendiri pada zaman itu. Pada zaman itu, abad pertengahan, perbudakan masih sangat biasa. Namun ada perbedaan antara wilayah utara Amerika dan selatan. Di selatan, para budak diperlakukan sangat kejam dan banyak yang mati karena penindasan yang mereka alami. Sedangkan di utara, kondisi para budak jauh lebih baik. Meski status mereka adalah budak, tapi perlakuan yang mereka terima masih cukup manusiawi. Karena itu, banyak budak dari selatan yang mencoba kabur menuju Utara, misalnya ke Kanada. Ada yang berhasil, tapi lebih banyak yang gagal karena bisa dikejar oleh orang-orang suruhan majikan mereka. Jika sudah tertangkap, mereka tidak akan dibiarkan hidup.
Saya belum bisa membayangkan betapa buruknya kondisi kemanusiaan saat itu. Kenapa ada orang yang sebetulnya “benar-benar manusia” diperlakukan seperti benda atau binatang. Dijual-belikan seenaknya dan diperlakukan dengan kejam. Membunuh para budak seperti membunuh kecoa, tanpa dosa dan rasa. Yang lebih parah, tidak pihak yang berdaya untuk melakukan meski sedikit perubahan.
Tidak mengherankan jika kehadiran novel ini dianggap sebagai pemicu kerusuhan para budak pada waktu itu. Hebatnya, kerusuhan itu menjadi salah satu trigger yang akhirnya membuat “dunia” melirik masalah perbudakan ini. Inilah barangkali yang membuat novel tersebut menjadi sangat fenomenal.
Dari sisi bahasa, novel ini terlihat biasa saja. Bagi pembaca zaman sekarang yang lebih familiar dengan bahasa Inggris “modern” mungkin akan sedikit kesulitan karena bahasa Inggris yang digunakan bentuknya masih Inggris “lama”. Untungnya, untuk kosakata, sedikit terbantu dengan catatan kaki yang ditambahkan pada beberapa halaman.
Terlepas dari kekurangannya, novel ini bisa disebut salah satu novel yang “luar biasa” menyentuh.
Velbak, 03012006, 20.00
Tuesday, January 03, 2006
education time
Long Life Education
Ada sebuah keharuan yang membuncah saat saya menelepon orang tua yang jauh di seberang pulau. Selain kerinduan yang terobati, saya juga mendengar sebuah kabar baik. Apa (panggilan buat Ayah saya) saya kuliah. Wah, akhirnya, pikir saya. Yang saya tahu selama ini, Apa memiliki pendidikan setingkat SMU. Tapi di mata saya, kecerdasan Apa jauh melampaui orang-orang dengan titel sarjana sekali pun. Beliau suka membaca dan mengamati banyak hal yang ada di sekitar. Dan pada saat adu argumentasi, beliau bisa menyajikan logika yang kadang mencengangkan. Namun, sebelumnya belum pernah terbersit untuk kuliah. Mungkin beliau berpikiran untuk menuntaskan pendidikan kami, anak-anaknya. Ah, terima kasih Apa sayang (dan ibuku sayang). Lucunya, beliau kelimpungan sendiri saat harus mengerjakan tugas-tugas kuliah, termasuk saat mengerjakan karya ilmiah. Beliau sampai menelepon minta dibantu untuk dibuatkan kerangka karangan, mulai pendahuluan sampai kesimpulan.
Satu hal yang bisa saya jadikan renungan adalah keinginan beliau untuk terus menimba ilmu. Tahun 2006 ini, Apa genap berumur 51 tahun. Sudah termasuk tua memang. Dan menurut saya, tidak terlalu banyak orang yang berkeinginan untuk menambah ilmu secara formal di bangku sekolah atau universitas. Belajar dari pengalaman hidup mungkin banyak yang melakoni. Tapi belajar di bangku pendidikan setelah punya anak sekian orang bahkan cucu atau cicit, masih banyakkah yang mau?
Banyak hal sepertinya yang membuat orang “malas” untuk belajar secara formal “lagi”. Bisa jadi karena terbentur biaya, waktu, atau keluarga. Tapi alasan terbesar yang menurut saya secara psikologis sangat menghambat adalah “rasa malas”. Apalagi bagi mereka yang merasa sudah memiliki kedudukan yang mapan, barangkali belajar formal sudah tidak menjadi hal penting lagi. Kenyataan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu linear dengan lowongan pekerjaan mungkin menambah “rasa malas” ini.
Tidak salah memang karena masing-masing orang memiliki pandangan sendiri. Dan pandangan pribadi ini sudah pasti didasari oleh berbagai pertimbangan yang mungkin jumlahnya tidak sedikit. Karena itu, saya tidak ingin disebut pendukung orang-orang tua yang mau bersekolah lagi dan penentang mereka yang tidak mau belajar formal lagi. Sama sekali saya bukan salah satu dari keduanya.
Saya adalah pendukung orang-orang yang terus belajar, formal ataupun tidak. Orang-orang yang tidak pernah berhenti memetik hikmah yang terpapar di mana saja. Mereka yang senantiasa menyediakan waktu untuk memahami bentangan alam Allah ini untuk dijadikan pelajaran. Dan tempatnya bisa di mana pun, di sekolah, kantor, jalan, tempat kos, rumah, pabrik, dan semua hamparan di jagat raya ini. Dukungan saya juga teruntuk bagi mereka yang tidak malu belajar dari orang yang lebih kecil, lebih miskin, jelata, tidak berpendidikan secara formal, atau orang-orang yang biasa dianggap “aneh” atau “gila” oleh orang kebanyakan.
Saya mengagumi para pembelajar sejati ini. Pelajar yang tidak pernah berhenti menuntut ilmu sampai ajal menjelang. Mereka yang selalu bersedia menyatakan bahwa ilmu yang sekarang dimilikinya masih kurang. Mereka adalah orang-orang yang rendah hati di hadapan ilmu. Ingin sekali saya masuk barisan orang-orang itu. Semoga....
Velbak, 02012006, 19.30
Ada sebuah keharuan yang membuncah saat saya menelepon orang tua yang jauh di seberang pulau. Selain kerinduan yang terobati, saya juga mendengar sebuah kabar baik. Apa (panggilan buat Ayah saya) saya kuliah. Wah, akhirnya, pikir saya. Yang saya tahu selama ini, Apa memiliki pendidikan setingkat SMU. Tapi di mata saya, kecerdasan Apa jauh melampaui orang-orang dengan titel sarjana sekali pun. Beliau suka membaca dan mengamati banyak hal yang ada di sekitar. Dan pada saat adu argumentasi, beliau bisa menyajikan logika yang kadang mencengangkan. Namun, sebelumnya belum pernah terbersit untuk kuliah. Mungkin beliau berpikiran untuk menuntaskan pendidikan kami, anak-anaknya. Ah, terima kasih Apa sayang (dan ibuku sayang). Lucunya, beliau kelimpungan sendiri saat harus mengerjakan tugas-tugas kuliah, termasuk saat mengerjakan karya ilmiah. Beliau sampai menelepon minta dibantu untuk dibuatkan kerangka karangan, mulai pendahuluan sampai kesimpulan.
Satu hal yang bisa saya jadikan renungan adalah keinginan beliau untuk terus menimba ilmu. Tahun 2006 ini, Apa genap berumur 51 tahun. Sudah termasuk tua memang. Dan menurut saya, tidak terlalu banyak orang yang berkeinginan untuk menambah ilmu secara formal di bangku sekolah atau universitas. Belajar dari pengalaman hidup mungkin banyak yang melakoni. Tapi belajar di bangku pendidikan setelah punya anak sekian orang bahkan cucu atau cicit, masih banyakkah yang mau?
Banyak hal sepertinya yang membuat orang “malas” untuk belajar secara formal “lagi”. Bisa jadi karena terbentur biaya, waktu, atau keluarga. Tapi alasan terbesar yang menurut saya secara psikologis sangat menghambat adalah “rasa malas”. Apalagi bagi mereka yang merasa sudah memiliki kedudukan yang mapan, barangkali belajar formal sudah tidak menjadi hal penting lagi. Kenyataan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu linear dengan lowongan pekerjaan mungkin menambah “rasa malas” ini.
Tidak salah memang karena masing-masing orang memiliki pandangan sendiri. Dan pandangan pribadi ini sudah pasti didasari oleh berbagai pertimbangan yang mungkin jumlahnya tidak sedikit. Karena itu, saya tidak ingin disebut pendukung orang-orang tua yang mau bersekolah lagi dan penentang mereka yang tidak mau belajar formal lagi. Sama sekali saya bukan salah satu dari keduanya.
Saya adalah pendukung orang-orang yang terus belajar, formal ataupun tidak. Orang-orang yang tidak pernah berhenti memetik hikmah yang terpapar di mana saja. Mereka yang senantiasa menyediakan waktu untuk memahami bentangan alam Allah ini untuk dijadikan pelajaran. Dan tempatnya bisa di mana pun, di sekolah, kantor, jalan, tempat kos, rumah, pabrik, dan semua hamparan di jagat raya ini. Dukungan saya juga teruntuk bagi mereka yang tidak malu belajar dari orang yang lebih kecil, lebih miskin, jelata, tidak berpendidikan secara formal, atau orang-orang yang biasa dianggap “aneh” atau “gila” oleh orang kebanyakan.
Saya mengagumi para pembelajar sejati ini. Pelajar yang tidak pernah berhenti menuntut ilmu sampai ajal menjelang. Mereka yang selalu bersedia menyatakan bahwa ilmu yang sekarang dimilikinya masih kurang. Mereka adalah orang-orang yang rendah hati di hadapan ilmu. Ingin sekali saya masuk barisan orang-orang itu. Semoga....
Velbak, 02012006, 19.30
Friday, December 30, 2005
new year fur everyone
sweetjune is saying:
it's so close right now. 2006 is in front of us...everyone in this planet....Make it more great then before....
take a few minutes to think what had you done n what will you do...
Happy New Year 2006.....!!!!!!!!
it's so close right now. 2006 is in front of us...everyone in this planet....Make it more great then before....
take a few minutes to think what had you done n what will you do...
Happy New Year 2006.....!!!!!!!!
great husband
Jadi suami penyayang
Baru beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi seorang teman yang kebetulan adalah istri dari saudara sepupu saya. Dia sangat berharap saya bisa datang karena untuk keluar dari rumah baginya terlalu sulit untuk mencari waktu. Sementara dia ingin sekali berbagi cerita. Memang, kami berdua selalu berbagi cerita tentang apa saja, termasuk tentang pernik-pernik pernikahan. Meski saya sendiri belum menikah, topik yang satu itu memang terlalu bagus untuk dilewatkan. Bukan apa-apa. Begitu banyak ilmu yang bisa saya petik. Ya, hitung-hitung buat bekal nanti. Semoga.
Umur pernikahan mereka baru sekitar dua tahun dengan seorang putra yang berusia 6 bulan. Kali ini, teman saya ini mengeluhkan perilaku suaminya yang (menurut anggapan teman itu) masih main mata dengan wanita lain. Rupanya si wanita itu adalah bekas teman dekat suaminya, yang dulunya mereka bahkan hampir menikah. Namun, pernikahan tidak terlaksana karena masalah keluarga. Setelah menikah dengan teman saya ini, si suami sepertinya masih sering berhubungan, terutama lewat SMS. Setiap ditanyai tentang komunikasi itu, dia selalu menjawab bahwa hubungan itu hanya untuk menjaga silaturahim. Hanya teman biasa, katanya.
Tapi teman saya punya pemikiran lain. Baginya itu bukan hubungan biasa. Mana mungkin hubungan biasa kalau saling telepon dan SMS-an di tengah malam. Bahkan kadang, si suami sengaja mencari tempat di luar ruangan rumah saat menerima telepon dari wanita itu. Yang lebih mengkhawatirkan teman saya adalah prinsip si suami yang katanya ingin berpoligami. Sebenarnya prinsip ini sudah diketahui teman saya sejak mereka berdua belum menikah. “Tapi rasanya terlalu sulit untuk menerima poligami, apalagi setelah punya anak,” ujarnya suatu saat.
Cerita teman saya terus berlanjut. Dia bilang, sejak anak mereka lahir suaminya seperti membebankan semua kewajiban menjaga sang anak di pundaknya. Semua harus dikerjakannya sendiri tanpa bantuan si suami. Jika si kecil menangis, si suami akan langsung berteriak memanggil istrinya. Dia tidak akan mau memaklumi meski sang istri sedang mengerjakan sesuatu yang “penting” atau yang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan dia tidak segan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan jika si istri terlambat datang untuk menenangkan si kecil. Padahal dia sendiri sedang duduk-duduk atau “hanya” sedang membaca.
Khusus untuk kosakata kasar ini, teman saya itu merasakan sesuatu yang sangat mengganjal pada pikirannya. Ceritanya, si suami dikenal sebagai ustad yang sering mengisi pengajian dan mengajar studi agama di beberapa tempat. Tapi (entah ini cuma ungkapan kekesalan atau benar adanya) menurut teman saya, segala teori perilaku baik yang diketahui suaminya hanya sebatas pengetahuan tanpa praktek. Label ustad yang menempel pada suaminya hanya lipservice. Hanya sebatas simbol kebaikan yang tidak ada kenyataannya. Teman saya bahkan juga bilang:”Makanya jangan cepat percaya pada penampilan luar. Dari luar sih kayak ustad tapi dalamnya mengerikan”.
Yach, sebagai seorang sahabat, saya terenyuh mendengar ceritanya. Meski mungkin tidak 100 persen benar, saya yakin lebih dari 50 persennya adalah kebenaran.
Mungkin tidak sedikit istri yang merasakan perasaan atau kondisi serupa meski tak sama. Doa saya....semoga tidak menimpa saya ya suatu saat nanti jika waktunya tiba. Semoga Allah menganugerahkan suami yang baik. Amin
Velbak, 30122005
Baru beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi seorang teman yang kebetulan adalah istri dari saudara sepupu saya. Dia sangat berharap saya bisa datang karena untuk keluar dari rumah baginya terlalu sulit untuk mencari waktu. Sementara dia ingin sekali berbagi cerita. Memang, kami berdua selalu berbagi cerita tentang apa saja, termasuk tentang pernik-pernik pernikahan. Meski saya sendiri belum menikah, topik yang satu itu memang terlalu bagus untuk dilewatkan. Bukan apa-apa. Begitu banyak ilmu yang bisa saya petik. Ya, hitung-hitung buat bekal nanti. Semoga.
Umur pernikahan mereka baru sekitar dua tahun dengan seorang putra yang berusia 6 bulan. Kali ini, teman saya ini mengeluhkan perilaku suaminya yang (menurut anggapan teman itu) masih main mata dengan wanita lain. Rupanya si wanita itu adalah bekas teman dekat suaminya, yang dulunya mereka bahkan hampir menikah. Namun, pernikahan tidak terlaksana karena masalah keluarga. Setelah menikah dengan teman saya ini, si suami sepertinya masih sering berhubungan, terutama lewat SMS. Setiap ditanyai tentang komunikasi itu, dia selalu menjawab bahwa hubungan itu hanya untuk menjaga silaturahim. Hanya teman biasa, katanya.
Tapi teman saya punya pemikiran lain. Baginya itu bukan hubungan biasa. Mana mungkin hubungan biasa kalau saling telepon dan SMS-an di tengah malam. Bahkan kadang, si suami sengaja mencari tempat di luar ruangan rumah saat menerima telepon dari wanita itu. Yang lebih mengkhawatirkan teman saya adalah prinsip si suami yang katanya ingin berpoligami. Sebenarnya prinsip ini sudah diketahui teman saya sejak mereka berdua belum menikah. “Tapi rasanya terlalu sulit untuk menerima poligami, apalagi setelah punya anak,” ujarnya suatu saat.
Cerita teman saya terus berlanjut. Dia bilang, sejak anak mereka lahir suaminya seperti membebankan semua kewajiban menjaga sang anak di pundaknya. Semua harus dikerjakannya sendiri tanpa bantuan si suami. Jika si kecil menangis, si suami akan langsung berteriak memanggil istrinya. Dia tidak akan mau memaklumi meski sang istri sedang mengerjakan sesuatu yang “penting” atau yang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan dia tidak segan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan jika si istri terlambat datang untuk menenangkan si kecil. Padahal dia sendiri sedang duduk-duduk atau “hanya” sedang membaca.
Khusus untuk kosakata kasar ini, teman saya itu merasakan sesuatu yang sangat mengganjal pada pikirannya. Ceritanya, si suami dikenal sebagai ustad yang sering mengisi pengajian dan mengajar studi agama di beberapa tempat. Tapi (entah ini cuma ungkapan kekesalan atau benar adanya) menurut teman saya, segala teori perilaku baik yang diketahui suaminya hanya sebatas pengetahuan tanpa praktek. Label ustad yang menempel pada suaminya hanya lipservice. Hanya sebatas simbol kebaikan yang tidak ada kenyataannya. Teman saya bahkan juga bilang:”Makanya jangan cepat percaya pada penampilan luar. Dari luar sih kayak ustad tapi dalamnya mengerikan”.
Yach, sebagai seorang sahabat, saya terenyuh mendengar ceritanya. Meski mungkin tidak 100 persen benar, saya yakin lebih dari 50 persennya adalah kebenaran.
Mungkin tidak sedikit istri yang merasakan perasaan atau kondisi serupa meski tak sama. Doa saya....semoga tidak menimpa saya ya suatu saat nanti jika waktunya tiba. Semoga Allah menganugerahkan suami yang baik. Amin
Velbak, 30122005
open mind
OPEN MIND
Tidak mudah berada di tengah-tengah orang-orang yang selalu terkukung dalam sempitnya pikiran mereka. Seperti yang kualami saat ini. Aku berada di tengah orang-orang yang sangat kaku dalam berpikir apalagi bertindak. Mereka terbiasa melakukan apa adanya dan terlihat sulit menerima sesuatu yang baru. Entah kenapa.
Awalnya aku berharap, semua yang kupikirkan itu hanya prasangkaku belaka. Mungkin saja, pikiranku itu terbentuk karena rasa putus asa melihat tingkah mereka. Tapi sepertinya, apa yang kupikir itu benar. Yach, minimal 95 persen. Sekian hari (tepatnya sekian bulan) telah kulalui bersama mereka. Sama sekali tidak ada yang istimewa atau minimal sesuatu yang membuatku bersemangat untuk terus bertahan bersama mereka. Benar-benar tidak ada yang baru. Semuanya biasa sekali. Yang kutangkap adalah mereka terlalu “berhati-hati” terhadap hal baru. Entah itu orang baru, suasana baru, terobosan baru, atau apalah namanya.
Di mataku, “kehati-hatian” mereka ini terlihat sangat berlebihan, seakan mereka sudah membayangkan impak yang sangat besar jika tidak hati-hati. Dan ini sepertinya berlaku untuk apa saja. Sampai-sampai, mereka terlihat sangat takut untuk memberikan sedikit kepercayaan kepada orang baru. Barangkali mereka punya alasan sendiri yang belum kupahami. Tapi sepertinya alasan itu terlalu sulit untuk dipahami. Memang sebuah sikap yang baik berhati-hati dan benar-benar berhitung untuk sesuatu yang baru. Tapi bukankah dalam hitung-hitungan tersebut juga dibutuhkan tindakan nyata agar bisa terlihat mana yang harus diperbaiki atau harus dipertahankan. Bukankah lebih baik pernah melakukan kesalahan pada saat sedang mencoba daripada tidak pernah salah karena sama sekali tidak pernah mencoba?
Ini barangkali yang mereka takutkan. Takut akan menemukan banyak kesalahan (yang pasti akan merepotkan mereka sendiri) jika harus memberikan kepercayaan kepada orang baru. Bukankah orang baru adalah orang yang belum tahu apa-apa (dalam pikiran mereka dan banyak orang)? Saya bukan orang pintar dalam hal analisis. Tapi bagi saya, cara berpikir seperti mereka adalah bodoh. Mengapa harus berpikir dengan cara sedangkal itu? Bukankah banyak hal baru, entah itu baik atau buruk, yang akan ditemui pada saat berani melakukan sesuatu yang baru? Buruk atau baik adalah sebuah kekayaan yang akan membuat masa depan lebih terencana. Kita akan semakin terbiasa dan siap menghadapi risiko apapun.
Sempit pikiran adalah sebuah penyakit yang harus disembuhkan. Ia tidak perlu dipelihara karena hanya akan membuat dunia yang sesak ini menjadi semakin sesak. Sayangnya masih terlalu banyak yang takut mengeyahkan penyakit ini. Aku tidak tahu persis permasalahan dan alasannya. Memang, setiap manusia punya hak untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hanya saja, kadang kala ingin sekali kusampaikan pada mereka, dan juga diriku sendiri, betapa akan sangat menguntungkan membuka pikiran. Bukankah membuka pikiran bukan berarti kita akan menerima apapun tanpa ada proses filter. Masing-masing kita punya nurani dan otak. Jadi tidak perlu khawatir. Bukalah pikiran kita selebar-lebarnya....Siapa tahu ada kebahagiaan tak terhingga di sana...
Velbak, 131205, 14.50
Tidak mudah berada di tengah-tengah orang-orang yang selalu terkukung dalam sempitnya pikiran mereka. Seperti yang kualami saat ini. Aku berada di tengah orang-orang yang sangat kaku dalam berpikir apalagi bertindak. Mereka terbiasa melakukan apa adanya dan terlihat sulit menerima sesuatu yang baru. Entah kenapa.
Awalnya aku berharap, semua yang kupikirkan itu hanya prasangkaku belaka. Mungkin saja, pikiranku itu terbentuk karena rasa putus asa melihat tingkah mereka. Tapi sepertinya, apa yang kupikir itu benar. Yach, minimal 95 persen. Sekian hari (tepatnya sekian bulan) telah kulalui bersama mereka. Sama sekali tidak ada yang istimewa atau minimal sesuatu yang membuatku bersemangat untuk terus bertahan bersama mereka. Benar-benar tidak ada yang baru. Semuanya biasa sekali. Yang kutangkap adalah mereka terlalu “berhati-hati” terhadap hal baru. Entah itu orang baru, suasana baru, terobosan baru, atau apalah namanya.
Di mataku, “kehati-hatian” mereka ini terlihat sangat berlebihan, seakan mereka sudah membayangkan impak yang sangat besar jika tidak hati-hati. Dan ini sepertinya berlaku untuk apa saja. Sampai-sampai, mereka terlihat sangat takut untuk memberikan sedikit kepercayaan kepada orang baru. Barangkali mereka punya alasan sendiri yang belum kupahami. Tapi sepertinya alasan itu terlalu sulit untuk dipahami. Memang sebuah sikap yang baik berhati-hati dan benar-benar berhitung untuk sesuatu yang baru. Tapi bukankah dalam hitung-hitungan tersebut juga dibutuhkan tindakan nyata agar bisa terlihat mana yang harus diperbaiki atau harus dipertahankan. Bukankah lebih baik pernah melakukan kesalahan pada saat sedang mencoba daripada tidak pernah salah karena sama sekali tidak pernah mencoba?
Ini barangkali yang mereka takutkan. Takut akan menemukan banyak kesalahan (yang pasti akan merepotkan mereka sendiri) jika harus memberikan kepercayaan kepada orang baru. Bukankah orang baru adalah orang yang belum tahu apa-apa (dalam pikiran mereka dan banyak orang)? Saya bukan orang pintar dalam hal analisis. Tapi bagi saya, cara berpikir seperti mereka adalah bodoh. Mengapa harus berpikir dengan cara sedangkal itu? Bukankah banyak hal baru, entah itu baik atau buruk, yang akan ditemui pada saat berani melakukan sesuatu yang baru? Buruk atau baik adalah sebuah kekayaan yang akan membuat masa depan lebih terencana. Kita akan semakin terbiasa dan siap menghadapi risiko apapun.
Sempit pikiran adalah sebuah penyakit yang harus disembuhkan. Ia tidak perlu dipelihara karena hanya akan membuat dunia yang sesak ini menjadi semakin sesak. Sayangnya masih terlalu banyak yang takut mengeyahkan penyakit ini. Aku tidak tahu persis permasalahan dan alasannya. Memang, setiap manusia punya hak untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Hanya saja, kadang kala ingin sekali kusampaikan pada mereka, dan juga diriku sendiri, betapa akan sangat menguntungkan membuka pikiran. Bukankah membuka pikiran bukan berarti kita akan menerima apapun tanpa ada proses filter. Masing-masing kita punya nurani dan otak. Jadi tidak perlu khawatir. Bukalah pikiran kita selebar-lebarnya....Siapa tahu ada kebahagiaan tak terhingga di sana...
Velbak, 131205, 14.50
something stupid
Tell Now
Saat menggoreskan tulisan ini, sayup-sayup saya mendengar alunan lagu something stupid-nya Frank Sinatra. Lagu lama sih tapi saya masih sangat menyukainya sampai saat ini. Bukan apa-apa. Liriknya itu lo yang bikin saya suka ingat terus.
Sederhana dan terkesan polos. Seseorang yang sedang jatuh cinta kebingungan untuk menyatakan cintanya itu. Begitu rumitkah cinta itu hingga ada yang sampai bingung saat ingin menyatakannya. Atau sebenarnya cinta itu nggak rumit, cuma orang-orangnya saja yang membuatnya jadi rumit. Atau memang sebenarnya cinta itu rumit terus semakin rumit karena manusianya membuatnya semakin rumit. Ah tau deh...kok jadi makin rumit hehehe....
Ya udah....ntar malah jadi something stupid
Velbak, 30122005, 20.30
Saat menggoreskan tulisan ini, sayup-sayup saya mendengar alunan lagu something stupid-nya Frank Sinatra. Lagu lama sih tapi saya masih sangat menyukainya sampai saat ini. Bukan apa-apa. Liriknya itu lo yang bikin saya suka ingat terus.
Sederhana dan terkesan polos. Seseorang yang sedang jatuh cinta kebingungan untuk menyatakan cintanya itu. Begitu rumitkah cinta itu hingga ada yang sampai bingung saat ingin menyatakannya. Atau sebenarnya cinta itu nggak rumit, cuma orang-orangnya saja yang membuatnya jadi rumit. Atau memang sebenarnya cinta itu rumit terus semakin rumit karena manusianya membuatnya semakin rumit. Ah tau deh...kok jadi makin rumit hehehe....
Ya udah....ntar malah jadi something stupid
Velbak, 30122005, 20.30
ghost ship
film hantu gentayangan
Judulnya ghost ship. Anda bisa bayangkan film seperti apa yang baru saja saya tonton itu. Tapi bagi Anda yang belum menonton, tidak perlu takut. Filmnya memang bergenre thriller, tapi tidak seram-seram amat (menurut saya).
Mirip titanic, film ini diawali dengan peristiwa mengerikan yang dialami penumpang di sebuah kapal pesiar mewah bernama Antonia G. Semua orang asyik berpesta dan bersenang-senang. Tiba-tiba tali jangkar seperti tercerabut dari tempatnya dan dengan sangat cepat "menebas" tubuh semua orang yang ada di lantai dansa. Hening sejenak, lalu tubuh-tubuh yang ditebas tali jangkar itu satu persatu jatuh, kecuali seorang gadis kecil yang menjerit histeris melihat peristiwa itu.
Berpuluh tahun kemudian, sekelompok penyelamat kapal didatangi seorang laki-laki yang mengaku sebagai penjelajah laut. Namanya Firreman. Dia mengatakan pernah melihat sebuah kapal tak bertuan di Selat Berring. Firreman menawarkan diri untuk memandu menuju kapal tersebut dengan imbalan 20 persen dari harga jual kapal nantinya. Tim yang dikomandani Murphy itu tertarik lalu berangkatlah mereka menuju Selat Berring, plus Firreman sebagai pemandu.
Mulailah keanehan demi keanehan mereka temui. Kapal yang diceritakan Firreman jelas-jelas ada di permukaan laut, tapi di radar selalu hilang-timbul. Saat memasuki kapal, tim itu dihadapkan pada berbagai ketegangan, mulai kedatangan gadis kecil bernama Katie, penyanyi Italia Francesca, pesta dansa yang meriah, mayat-mayat di kolam renang, kehadiran kapten kapal dengan sampanye hangat, plus berpeti-peti batangan emas.
Kecuali emas, semua yang mereka temui itu hanya "hantu" belaka. Tapi hantu-hantu itulah yang akhirnya membunuh salah satu anggota tim bernama Greer. Namun, hantu gadis kecil Katie justru membantu tim mengetahui apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.
Ternyata, pada 1962, kapal tersebut diduduki oleh sekelompok pembajak yang mengincar emas di kapal itu. Mereka membunuhi semua penumpang, tapi belakangan para pembajak itu juga saling membunuh.
Selanjutnya, sebuah kejutan terpapar di film itu. Dedengkot dari tragedi berdarah itu ternyata Firreman, laki-laki pemandu tim. Meski berwujud manusia, sebenarnya dia adalah hantu yang gentayangan. Dia menyatakan diri sebagai collector of souls.
Satu-satunya yang selamat dalam misi itu adalah Epps, wanita satu-satunya dalam tim itu.
Tidak terlalu istimewa sebenarnya. Malah terkesan mirip dengan film-film berlatar kapal, seperti perfect storm. Tapi bagi Anda yang sedang "belajar" menyukai film thriller, lumayanlah. Coba saja tonton!
Velbak, 30122005,
Judulnya ghost ship. Anda bisa bayangkan film seperti apa yang baru saja saya tonton itu. Tapi bagi Anda yang belum menonton, tidak perlu takut. Filmnya memang bergenre thriller, tapi tidak seram-seram amat (menurut saya).
Mirip titanic, film ini diawali dengan peristiwa mengerikan yang dialami penumpang di sebuah kapal pesiar mewah bernama Antonia G. Semua orang asyik berpesta dan bersenang-senang. Tiba-tiba tali jangkar seperti tercerabut dari tempatnya dan dengan sangat cepat "menebas" tubuh semua orang yang ada di lantai dansa. Hening sejenak, lalu tubuh-tubuh yang ditebas tali jangkar itu satu persatu jatuh, kecuali seorang gadis kecil yang menjerit histeris melihat peristiwa itu.
Berpuluh tahun kemudian, sekelompok penyelamat kapal didatangi seorang laki-laki yang mengaku sebagai penjelajah laut. Namanya Firreman. Dia mengatakan pernah melihat sebuah kapal tak bertuan di Selat Berring. Firreman menawarkan diri untuk memandu menuju kapal tersebut dengan imbalan 20 persen dari harga jual kapal nantinya. Tim yang dikomandani Murphy itu tertarik lalu berangkatlah mereka menuju Selat Berring, plus Firreman sebagai pemandu.
Mulailah keanehan demi keanehan mereka temui. Kapal yang diceritakan Firreman jelas-jelas ada di permukaan laut, tapi di radar selalu hilang-timbul. Saat memasuki kapal, tim itu dihadapkan pada berbagai ketegangan, mulai kedatangan gadis kecil bernama Katie, penyanyi Italia Francesca, pesta dansa yang meriah, mayat-mayat di kolam renang, kehadiran kapten kapal dengan sampanye hangat, plus berpeti-peti batangan emas.
Kecuali emas, semua yang mereka temui itu hanya "hantu" belaka. Tapi hantu-hantu itulah yang akhirnya membunuh salah satu anggota tim bernama Greer. Namun, hantu gadis kecil Katie justru membantu tim mengetahui apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.
Ternyata, pada 1962, kapal tersebut diduduki oleh sekelompok pembajak yang mengincar emas di kapal itu. Mereka membunuhi semua penumpang, tapi belakangan para pembajak itu juga saling membunuh.
Selanjutnya, sebuah kejutan terpapar di film itu. Dedengkot dari tragedi berdarah itu ternyata Firreman, laki-laki pemandu tim. Meski berwujud manusia, sebenarnya dia adalah hantu yang gentayangan. Dia menyatakan diri sebagai collector of souls.
Satu-satunya yang selamat dalam misi itu adalah Epps, wanita satu-satunya dalam tim itu.
Tidak terlalu istimewa sebenarnya. Malah terkesan mirip dengan film-film berlatar kapal, seperti perfect storm. Tapi bagi Anda yang sedang "belajar" menyukai film thriller, lumayanlah. Coba saja tonton!
Velbak, 30122005,
patient time
Intinya...sabar lagi!
Kadang saya jengah dengan kosakata yang satu ini. Sabar. Kenapa kosakata ini begitu populer tapi begitu sulit untuk diwujudkan, terutama bagi saya pribadi? Betapa ingin menjadi orang yang sabar, sabar dalam segala hal. Sabar yang menggiring pada pengendalian diri. Bukan sabar yang memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbuat semena-mena. Namun, bagaimana ya membedakan dua jenis kesabaran ini?
Saya tidak terlalu ahli mengupas masalah kesabaran ini. Sebab, sejujurnya saya belumlah bisa dikategorikan sebagai orang yang sabar meski kadang-kadang saya kege-eran sudah merasa bersabar. Namun, karena didorong keinginan yang besar sekali untuk bisa dikategorikan sebagai orang yang sabar, saya sering terdorong untuk bercerita dalam bentuk lisan atau tulisan tentang kesabaran ini. Saya berharap, cerita itu akan semakin mendorong saya untuk terus-menerus tanpa henti berusaha menjadi orang yang sabar.
Pertanyaan yang ingin saya ajukan pertama kali adalah mengapa harus sabar. Kedua, mengapa orang bisa bersabar? Pertanyaan saya yang pertama sempat dijawab oleh seorang teman. Katanya “hidup ini terlalu banyak diisi oleh cobaan yang tak akan mungkin dihilangkan. Tanpa kesabaran, kita tidak akan mungkin bertahan. Kamu pernah dengar orang yang mengatakan bahwa kesabaran itu ada batasnya? Di mataku, kesabaran itu harus tak berbatas karena kesulitan itu juga tak berbatas”. Duh, dalam pandangan saya apa yang diungkapkan teman itu “terlalu benar” sehingga saya sulit untuk menyangkalnya.
Untuk pertanyaan saya yang kedua, sang teman juga punya jawaban. Tapi jawabannya tidak terlalu pas dalam pandangan saya. Jawabannya singkat “ tidak ada pilihan aman lain, jadi ya harus sabar”. Boleh jadi apa yang disampaikannya memang benar dan kenyataannya banyak yang berpikir seperti itu. Saya pun kadang kala berpikiran serupa. Tapi sepertinya ungkapan seperti itu lebih menyiratkan keputusasaan dan kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jadi sebaiknya bagaimana?
Kadang saya jengah dengan kosakata yang satu ini. Sabar. Kenapa kosakata ini begitu populer tapi begitu sulit untuk diwujudkan, terutama bagi saya pribadi? Betapa ingin menjadi orang yang sabar, sabar dalam segala hal. Sabar yang menggiring pada pengendalian diri. Bukan sabar yang memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbuat semena-mena. Namun, bagaimana ya membedakan dua jenis kesabaran ini?
Saya tidak terlalu ahli mengupas masalah kesabaran ini. Sebab, sejujurnya saya belumlah bisa dikategorikan sebagai orang yang sabar meski kadang-kadang saya kege-eran sudah merasa bersabar. Namun, karena didorong keinginan yang besar sekali untuk bisa dikategorikan sebagai orang yang sabar, saya sering terdorong untuk bercerita dalam bentuk lisan atau tulisan tentang kesabaran ini. Saya berharap, cerita itu akan semakin mendorong saya untuk terus-menerus tanpa henti berusaha menjadi orang yang sabar.
Pertanyaan yang ingin saya ajukan pertama kali adalah mengapa harus sabar. Kedua, mengapa orang bisa bersabar? Pertanyaan saya yang pertama sempat dijawab oleh seorang teman. Katanya “hidup ini terlalu banyak diisi oleh cobaan yang tak akan mungkin dihilangkan. Tanpa kesabaran, kita tidak akan mungkin bertahan. Kamu pernah dengar orang yang mengatakan bahwa kesabaran itu ada batasnya? Di mataku, kesabaran itu harus tak berbatas karena kesulitan itu juga tak berbatas”. Duh, dalam pandangan saya apa yang diungkapkan teman itu “terlalu benar” sehingga saya sulit untuk menyangkalnya.
Untuk pertanyaan saya yang kedua, sang teman juga punya jawaban. Tapi jawabannya tidak terlalu pas dalam pandangan saya. Jawabannya singkat “ tidak ada pilihan aman lain, jadi ya harus sabar”. Boleh jadi apa yang disampaikannya memang benar dan kenyataannya banyak yang berpikir seperti itu. Saya pun kadang kala berpikiran serupa. Tapi sepertinya ungkapan seperti itu lebih menyiratkan keputusasaan dan kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jadi sebaiknya bagaimana?
Thursday, December 29, 2005
enjoy aja
ENJOY THIS LIVE
Aku kurang tahu persis darimana perasaan ini berawal. Tapi sepertinya sudah lumayan lama. Rasa yang sebenarnya ingin kuhilangkan sama sekali, jauh dan tak kembali ke diriku lagi. Sesuatu yang berhubungan dengan hidup.
Mungkin terlalu awal untuk mengatakan bahwa hidup ini terlalu rumit dan susah untuk dinikmati. Apalagi dengan usiaku yang masih kepala dua. Namun, kadang kala rasa itu sulit untuk ditepis. Dia sering hadir, terlebih saat setumpuk kelelahan, kesedihan, dan kadang ketakutan menghampiriku. Kegembiraan yang sebenarnya juga kualami kadang tidak bisa menutupi kesedihan. Apa mungkin hal ini karena terlalu banyak hal “tidak menyenangkan” yang kualami? Atau mungkin aku terlalu mendramatisasi keadaan? I don't know exactly.
Sehari sebelum aku menulis goresan ini, seorang sahabat baikku mengirimkan sebuah sms. Isinya membuatku memikirkan sesuatu. Dia bilang “Aku baru pulang ngeliput berita di Depok. Capek banget. Rasanya aku nggak kuat lagi. Pengen berhenti nih”. Wah...ternyata banyak yang merasakan hal yang kurang lebih sama denganku.
Ada orang bilang bahwa yang namanya hidup tidak akan mungkin terlepas dari masalah. Jadi mengharapkan hidup tanpa masalah adalah sesuatu yang tidak mungkin. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah hidup dengan permasalahan tersebut sambil berusaha terus-menerus menyelesaikannya. Yach, begitulah teorinya.
Benarkah teori itu? Sebenarnya yang terpenting bukanlah salah atau tidak. Seperti apa prakteknya, mungkin itu yang lebih utama diperhatikan.
Aku kurang tahu persis darimana perasaan ini berawal. Tapi sepertinya sudah lumayan lama. Rasa yang sebenarnya ingin kuhilangkan sama sekali, jauh dan tak kembali ke diriku lagi. Sesuatu yang berhubungan dengan hidup.
Mungkin terlalu awal untuk mengatakan bahwa hidup ini terlalu rumit dan susah untuk dinikmati. Apalagi dengan usiaku yang masih kepala dua. Namun, kadang kala rasa itu sulit untuk ditepis. Dia sering hadir, terlebih saat setumpuk kelelahan, kesedihan, dan kadang ketakutan menghampiriku. Kegembiraan yang sebenarnya juga kualami kadang tidak bisa menutupi kesedihan. Apa mungkin hal ini karena terlalu banyak hal “tidak menyenangkan” yang kualami? Atau mungkin aku terlalu mendramatisasi keadaan? I don't know exactly.
Sehari sebelum aku menulis goresan ini, seorang sahabat baikku mengirimkan sebuah sms. Isinya membuatku memikirkan sesuatu. Dia bilang “Aku baru pulang ngeliput berita di Depok. Capek banget. Rasanya aku nggak kuat lagi. Pengen berhenti nih”. Wah...ternyata banyak yang merasakan hal yang kurang lebih sama denganku.
Ada orang bilang bahwa yang namanya hidup tidak akan mungkin terlepas dari masalah. Jadi mengharapkan hidup tanpa masalah adalah sesuatu yang tidak mungkin. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah hidup dengan permasalahan tersebut sambil berusaha terus-menerus menyelesaikannya. Yach, begitulah teorinya.
Benarkah teori itu? Sebenarnya yang terpenting bukanlah salah atau tidak. Seperti apa prakteknya, mungkin itu yang lebih utama diperhatikan.
bening...
Bening hati
Saya pernah tinggal di kampung tempat nenek dan kakek saya hidup hingga saat ini. Namanya Manganti. Salah satu tempat yang sangat saya sukai di sana adalah sebuah mata air yang tersembunyi di balik rerumputan di dekat pematang sawah. Air yang keluar dari mata air tersebut mengumpul dalam cekungan kecil seperti lubuk. Saat musim hujan, tempat itu jarang dimanfaatkan warga karena sumur-sumur mereka masih berlimpah air. Namun, di waktu kemarau, warga berebut mengambil airnya karena meski musim kering airnya tak pernah habis.
Hal paling menarik yang ingin saya gambarkan adalah air di lubuk itu yang begitu bening. Bening sekali seakan di dalamnya benar-benar hanya mengandung unsur air alias H2O. Tanpa kuman, bakteri, debu, mikroba, atau sejuta makhluk lain yang biasa menjadi penghuni air. Bening tanpa warna. Saya membayangkan beningnya air di lubuk itu bisa setara dengan beningnya hati manusia. Betapa berbahagianya jika seorang anak manusia memiliki hati sebening itu. Bersih tanpa embel-embel pengganggu. Mungkinkah?
Barangkali memiliki hati yang teramat bening bisa saja, jika ukuran yang dipakai adalah ukuran manusia biasa yang tidak terlepas dari unsur baik dan buruk. Betapa banyak manusia yang memiliki hati selembut awan (meminjam lirik lagu milik Katon Bagaskara). Dan betapa nikmatnya jika sempat hidup bersama mereka.
Mereka adalah orang-orang dengan kepribadian terkendali. Orang yang tidak gampang marah saat disakiti, gampang memaafkan jika telah tersakiti, mendahulukan berprasangka baik, mudah mengulurkan tangannya untuk membantu orang lain, dan sederet perilaku manis lainnya. Tak jarang orang kadang salah menafsirkan kelembutan hati mereka sebagai sikap yang lemah. Memang pada beberapa hal, mereka terlihat lemah saat menghadapi orang lain.
Namun, di balik “kelemahan” itulah sebenarnya kekuatan mereka. Makanya ada orang bisa luluh hatinya hanya dengan melihat muka polos dengan sedikit genangan air mata. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kuat.
Bisa nggak ya kita seperti mereka. Bening hati memang sangat indah...
Velbak, 30122005
Saya pernah tinggal di kampung tempat nenek dan kakek saya hidup hingga saat ini. Namanya Manganti. Salah satu tempat yang sangat saya sukai di sana adalah sebuah mata air yang tersembunyi di balik rerumputan di dekat pematang sawah. Air yang keluar dari mata air tersebut mengumpul dalam cekungan kecil seperti lubuk. Saat musim hujan, tempat itu jarang dimanfaatkan warga karena sumur-sumur mereka masih berlimpah air. Namun, di waktu kemarau, warga berebut mengambil airnya karena meski musim kering airnya tak pernah habis.
Hal paling menarik yang ingin saya gambarkan adalah air di lubuk itu yang begitu bening. Bening sekali seakan di dalamnya benar-benar hanya mengandung unsur air alias H2O. Tanpa kuman, bakteri, debu, mikroba, atau sejuta makhluk lain yang biasa menjadi penghuni air. Bening tanpa warna. Saya membayangkan beningnya air di lubuk itu bisa setara dengan beningnya hati manusia. Betapa berbahagianya jika seorang anak manusia memiliki hati sebening itu. Bersih tanpa embel-embel pengganggu. Mungkinkah?
Barangkali memiliki hati yang teramat bening bisa saja, jika ukuran yang dipakai adalah ukuran manusia biasa yang tidak terlepas dari unsur baik dan buruk. Betapa banyak manusia yang memiliki hati selembut awan (meminjam lirik lagu milik Katon Bagaskara). Dan betapa nikmatnya jika sempat hidup bersama mereka.
Mereka adalah orang-orang dengan kepribadian terkendali. Orang yang tidak gampang marah saat disakiti, gampang memaafkan jika telah tersakiti, mendahulukan berprasangka baik, mudah mengulurkan tangannya untuk membantu orang lain, dan sederet perilaku manis lainnya. Tak jarang orang kadang salah menafsirkan kelembutan hati mereka sebagai sikap yang lemah. Memang pada beberapa hal, mereka terlihat lemah saat menghadapi orang lain.
Namun, di balik “kelemahan” itulah sebenarnya kekuatan mereka. Makanya ada orang bisa luluh hatinya hanya dengan melihat muka polos dengan sedikit genangan air mata. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kuat.
Bisa nggak ya kita seperti mereka. Bening hati memang sangat indah...
Velbak, 30122005
about heart
Tebak hati
Anda mungkin sudah sangat sering mengisi TTS alias teka teki silang. Entah itu sekadar pengisi waktu luang atau justru jadi hobi yang tak pernah bisa ditinggalkan. Namun, pernahkah Anda mencoba untuk menerapkan sistem pengisian TTS itu terhadap isi hati seseorang? Artinya, pernahkah Anda mencoba menebak apa yang di benak seseorang dari tampilan luar yang terlihat, seperti tingkah laku, cara berbicara, raut muka, atau cara memandang?
Saya sering melakukannya. Dan hasilnya tidak terlalu mengecewakan meski tingkat kesalahannya masih lumayan. Aktivitas ini saya lakukan sebagai salah satu usaha untuk bisa menghadapi seseorang sehingga pas dengan tipe orang tersebut. Ujung-ujungnya biar komunikasi nyambung. Tidak mudah memang karena untuk satu kepala saja butuh banyak usaha. Apalagi untuk sekian banyak kepala. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin berbagi tentang kejadian-kejadian kecil yang sempat saya amati.
Saya punya seorang teman yang “tidak pernah marah”. Frase tidak pernah marah yang saya maksudkan adalah dia tidak pernah membentak, bicara keras, apalagi sampai melempar barang atau menyakiti secara fisik. Ekspresi marah ditunjukkannya hanya dengan sedikit pandangan yang kurang ramah atau raut wajah yang merah saat berbicara. Kok bisa ya? Jadi butuh sedikit kejelian yang lebih untuk menyimpulkan dia marah atau tidak. Saya banyak belajar tentang bagaimana menahan marah atau lebih tepatnya mengendalikan marah. Meski lebih jarang gagal (maklum masih belajar).
Ada lagi teman saya yang punya perilaku unik. Kalau sedang marah, dia diam seribu bahasa. Ditanya apa saja dan sama siapa saja, dia pasti diam. Kalau ada yang memanggil, dia juga cuma diam saja. Bahkan kadang kala, jika sudah sangat lapar pun, ia tidak akan mau menyentuh makanan. Sebaliknya kalau dia lagi senang, wajahnya selalu semringah, mudah memaafkan, dan yang paling asyik, dia suka bagi-bagi makanan.
Nah, baru-baru ini saya mengenal seseorang yang juga “unik” dalam pandangan saya. Ekpresinya selalu datar. Kalau lagi senang ya biasa, kalau lagi suntuk kayaknya juga tidak ada perubahan. Kalau dia menyukai sesuatu, biasa saja dan kalau benci sesuatu juga biasa saja. Kalau mau memahami dia lebih detail, sepertinya harus bergaul lebih lama dan sering-sering memperhatikan ekspresi wajahnya. Apa ini yang dinamakan kestabilan ya?
Ada lagi teman yang sukanya bicara seenaknya alias asal bunyi. Tapi justru yang saya lihat, orangnya baik dan suka menolong. “Keasalannya” seakan hanya spontanitas yang keluar tanpa direncanakan. Lagian, siapa yang mau asal tapi direncanakan ya:).
Kalau ada seseorang merasakan sesuatu lalu mengekspresikannya dalam tindakan, perubahan mimik wajah, nada suara, atau gerakan fisik yang nyata, mungkin bagi yang melihat tidak akan terlalu kesulitan untuk memahami apa yang sedang tersembunyi di hatinya. Sedikit lebih parah adalah orang yang terbiasa menyembunyikan apa yang dirasakannya dalam kedok “ketenangan”. Parah karena kepintaran kita menebak apa yang dia rasakan masih harus diuji alias belum tentu benar. Namun, ada kemungkinan benar.
Yang paling parah adalah orang yang ekspresi fisiknya berbeda dengan apa yang tersimpan di hatinya. Kalau boleh saya membahasakan, orang seperti inilah yang pantas disebut munafik alias orang yang asli tapi palsu. Menurut saya, orang-orang dengan tipikal ini perlu diwaspadai. Tanpa bermaksud untuk berburuk sangka, orang ini sebenarnya punya potensi kecerdikan yang lebih dari orang lain. Bukankah bukan hal yang mudah untuk berpura-pura? Dan yang bersangkutan bisa melakukannya.
Terus, sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan ke diri saya sendiri adalah saya termasuk tipikal yang mana? Wah, pertanyaan yang sulit karena untuk menjawabnya saya harus “mengawasi” diri lebih cermat lagi. Semoga suatu saat pertanyaan itu bisa saya jawab dan tentu saja dengan jawaban yang tidak mengecewakan.
Velbak, 20des05, 14.50
Anda mungkin sudah sangat sering mengisi TTS alias teka teki silang. Entah itu sekadar pengisi waktu luang atau justru jadi hobi yang tak pernah bisa ditinggalkan. Namun, pernahkah Anda mencoba untuk menerapkan sistem pengisian TTS itu terhadap isi hati seseorang? Artinya, pernahkah Anda mencoba menebak apa yang di benak seseorang dari tampilan luar yang terlihat, seperti tingkah laku, cara berbicara, raut muka, atau cara memandang?
Saya sering melakukannya. Dan hasilnya tidak terlalu mengecewakan meski tingkat kesalahannya masih lumayan. Aktivitas ini saya lakukan sebagai salah satu usaha untuk bisa menghadapi seseorang sehingga pas dengan tipe orang tersebut. Ujung-ujungnya biar komunikasi nyambung. Tidak mudah memang karena untuk satu kepala saja butuh banyak usaha. Apalagi untuk sekian banyak kepala. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin berbagi tentang kejadian-kejadian kecil yang sempat saya amati.
Saya punya seorang teman yang “tidak pernah marah”. Frase tidak pernah marah yang saya maksudkan adalah dia tidak pernah membentak, bicara keras, apalagi sampai melempar barang atau menyakiti secara fisik. Ekspresi marah ditunjukkannya hanya dengan sedikit pandangan yang kurang ramah atau raut wajah yang merah saat berbicara. Kok bisa ya? Jadi butuh sedikit kejelian yang lebih untuk menyimpulkan dia marah atau tidak. Saya banyak belajar tentang bagaimana menahan marah atau lebih tepatnya mengendalikan marah. Meski lebih jarang gagal (maklum masih belajar).
Ada lagi teman saya yang punya perilaku unik. Kalau sedang marah, dia diam seribu bahasa. Ditanya apa saja dan sama siapa saja, dia pasti diam. Kalau ada yang memanggil, dia juga cuma diam saja. Bahkan kadang kala, jika sudah sangat lapar pun, ia tidak akan mau menyentuh makanan. Sebaliknya kalau dia lagi senang, wajahnya selalu semringah, mudah memaafkan, dan yang paling asyik, dia suka bagi-bagi makanan.
Nah, baru-baru ini saya mengenal seseorang yang juga “unik” dalam pandangan saya. Ekpresinya selalu datar. Kalau lagi senang ya biasa, kalau lagi suntuk kayaknya juga tidak ada perubahan. Kalau dia menyukai sesuatu, biasa saja dan kalau benci sesuatu juga biasa saja. Kalau mau memahami dia lebih detail, sepertinya harus bergaul lebih lama dan sering-sering memperhatikan ekspresi wajahnya. Apa ini yang dinamakan kestabilan ya?
Ada lagi teman yang sukanya bicara seenaknya alias asal bunyi. Tapi justru yang saya lihat, orangnya baik dan suka menolong. “Keasalannya” seakan hanya spontanitas yang keluar tanpa direncanakan. Lagian, siapa yang mau asal tapi direncanakan ya:).
Kalau ada seseorang merasakan sesuatu lalu mengekspresikannya dalam tindakan, perubahan mimik wajah, nada suara, atau gerakan fisik yang nyata, mungkin bagi yang melihat tidak akan terlalu kesulitan untuk memahami apa yang sedang tersembunyi di hatinya. Sedikit lebih parah adalah orang yang terbiasa menyembunyikan apa yang dirasakannya dalam kedok “ketenangan”. Parah karena kepintaran kita menebak apa yang dia rasakan masih harus diuji alias belum tentu benar. Namun, ada kemungkinan benar.
Yang paling parah adalah orang yang ekspresi fisiknya berbeda dengan apa yang tersimpan di hatinya. Kalau boleh saya membahasakan, orang seperti inilah yang pantas disebut munafik alias orang yang asli tapi palsu. Menurut saya, orang-orang dengan tipikal ini perlu diwaspadai. Tanpa bermaksud untuk berburuk sangka, orang ini sebenarnya punya potensi kecerdikan yang lebih dari orang lain. Bukankah bukan hal yang mudah untuk berpura-pura? Dan yang bersangkutan bisa melakukannya.
Terus, sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan ke diri saya sendiri adalah saya termasuk tipikal yang mana? Wah, pertanyaan yang sulit karena untuk menjawabnya saya harus “mengawasi” diri lebih cermat lagi. Semoga suatu saat pertanyaan itu bisa saya jawab dan tentu saja dengan jawaban yang tidak mengecewakan.
Velbak, 20des05, 14.50
sindrom mitsaqon
Sindrom mitsaqon
Memang sebuah kewajaran dalam kehidupan ini selalu terpapar dua hal yang bertentangan. Ada manis ada pahit. Ada baik ada jahat. Sebagian indah sebagian suram. Di satu sisi bersinar di sisi lain gelap. Ada yang bahagia ada yang sengsara, termasuk dalam sebuah perkawinan. Ini jugalah yang saya, dan mungkin semua orang, pernah temui. Saya, dalam kehidupan yang sudah berjalan 24 tahun ini, ditakdirkan untuk menemukan kebahagiaan keluarga sekaligus morat-maritnya pernikahan. Entah itu dari saudara, teman, temannya teman, termasuk dari keluarga saya sendiri.
Sejujurnya dari pengalaman hidup mereka itu, saya akhirnya menyimpulkan bahwa pernikahan itu sungguh berat. Berat sekali malah. Bahkan kadang kala, ada ketakutan untuk memasuki pernikahan. Sering kali pertanyaan yang paling sering muncul itu adalah tentang orang yang akan menjadi pendamping hidup kelak menjadi sebuah beban yang memberati pundak. Adakah seseorang yang baik untuk saya? Di manakah ia? Bisakah kelak kami menjalani kehidupan bersama nan tenteram? Adakah “dia” seseorang yang memperhatikan keluarga? Dan berjuta pertanyaan lain hadir tanpa diundang.
Namun, saat kegalauan itu saya bagi dengan seorang teman, dia malah tertawa. Dia hanya bilang: ”Makanya, dijalani aja nanti”. Waktu mendengar jawaban itu, saya hanya tersenyum kecut. Kecut karena rasanya saya terlalu pengecut untuk berani berbuat seperti yang dikatakan teman itu.
Di saat lain, ada pikiran sebaliknya yang mengisi otak saya. Tanpa disengaja, kadang ada perasaan “rindu” memasuki “area” pernikahan itu. Pasalnya, tidak sedikit peristiwa-peristiwa bahagia yang saya lihat dalam rumah tangga orang-orang yang sudah menikah itu. Ada suami yang superbaik, ada istri yang sangat perhatian terhadap urusan keluarga, ada lagi mertua yang hubungannya sangat harmonis dengan menantu. Cerita lain tentang ipar-ipar yang baik dan tidak suka sirik, sahabat-sahabat pasangan yang menyenangkan, serta anak-anak yang lucu dan menggemaskan.
Khusus untuk yang terakhir, saya benar-benar menginginkannya lebih dari apa pun. Betapa bahagianya memiliki anak-anak yang akan membuat hidup kian lengkap. Dengan segala tingkah yang bisa membuat gemas, bahagia, terharu, sedih, marah, rindu, dan jengkel, anak-anak membuat hidup lebih berwarna. Tentu saja dengan warna-warni seindah pelangi. Banyak cerita tentang kerepotan mengurus anak, mulai mereka lahir sampai dewasa. Bahkan setelah menikah pun, mereka kadang masih merepotkan. Tapi, rasanya tidak ada yang kapok punya anak. Kalau pun ada yang pernah bilang kalau mereka menyesal punya anak, saya rasa itu hanyalah luapan emosi sesaat. Bukankah mulut bisa saja mengeluarkan kata-kata “yang tidak jelas ujung-pangkalnya” di saat marah atau sedang bermasalah?
Ketakutan yang diiringi dengan keinginan yang tak kalah besarnya untuk memasuki “hidup baru” itu barangkali bagi sebagian orang adalah sesuatu yang aneh. Namun, itulah yang saya rasakan. Saya berharap, ketakutan itu akan semakin berkurang saat saya terus berusaha memahami lembaga bernama pernikahan tersebut, ditambah lagi dengan “praktek” yang akan saya jalani. Apalagi jika suatu saat saya dipertemukan dengan orang yang tepat, seseorang yang mampu meyakinkan saya bahwa pernikahan itu memang salah satu keindahan yang diciptakan Allah buat manusia. Semoga....
Velbak, 29122005, 07.35
Memang sebuah kewajaran dalam kehidupan ini selalu terpapar dua hal yang bertentangan. Ada manis ada pahit. Ada baik ada jahat. Sebagian indah sebagian suram. Di satu sisi bersinar di sisi lain gelap. Ada yang bahagia ada yang sengsara, termasuk dalam sebuah perkawinan. Ini jugalah yang saya, dan mungkin semua orang, pernah temui. Saya, dalam kehidupan yang sudah berjalan 24 tahun ini, ditakdirkan untuk menemukan kebahagiaan keluarga sekaligus morat-maritnya pernikahan. Entah itu dari saudara, teman, temannya teman, termasuk dari keluarga saya sendiri.
Sejujurnya dari pengalaman hidup mereka itu, saya akhirnya menyimpulkan bahwa pernikahan itu sungguh berat. Berat sekali malah. Bahkan kadang kala, ada ketakutan untuk memasuki pernikahan. Sering kali pertanyaan yang paling sering muncul itu adalah tentang orang yang akan menjadi pendamping hidup kelak menjadi sebuah beban yang memberati pundak. Adakah seseorang yang baik untuk saya? Di manakah ia? Bisakah kelak kami menjalani kehidupan bersama nan tenteram? Adakah “dia” seseorang yang memperhatikan keluarga? Dan berjuta pertanyaan lain hadir tanpa diundang.
Namun, saat kegalauan itu saya bagi dengan seorang teman, dia malah tertawa. Dia hanya bilang: ”Makanya, dijalani aja nanti”. Waktu mendengar jawaban itu, saya hanya tersenyum kecut. Kecut karena rasanya saya terlalu pengecut untuk berani berbuat seperti yang dikatakan teman itu.
Di saat lain, ada pikiran sebaliknya yang mengisi otak saya. Tanpa disengaja, kadang ada perasaan “rindu” memasuki “area” pernikahan itu. Pasalnya, tidak sedikit peristiwa-peristiwa bahagia yang saya lihat dalam rumah tangga orang-orang yang sudah menikah itu. Ada suami yang superbaik, ada istri yang sangat perhatian terhadap urusan keluarga, ada lagi mertua yang hubungannya sangat harmonis dengan menantu. Cerita lain tentang ipar-ipar yang baik dan tidak suka sirik, sahabat-sahabat pasangan yang menyenangkan, serta anak-anak yang lucu dan menggemaskan.
Khusus untuk yang terakhir, saya benar-benar menginginkannya lebih dari apa pun. Betapa bahagianya memiliki anak-anak yang akan membuat hidup kian lengkap. Dengan segala tingkah yang bisa membuat gemas, bahagia, terharu, sedih, marah, rindu, dan jengkel, anak-anak membuat hidup lebih berwarna. Tentu saja dengan warna-warni seindah pelangi. Banyak cerita tentang kerepotan mengurus anak, mulai mereka lahir sampai dewasa. Bahkan setelah menikah pun, mereka kadang masih merepotkan. Tapi, rasanya tidak ada yang kapok punya anak. Kalau pun ada yang pernah bilang kalau mereka menyesal punya anak, saya rasa itu hanyalah luapan emosi sesaat. Bukankah mulut bisa saja mengeluarkan kata-kata “yang tidak jelas ujung-pangkalnya” di saat marah atau sedang bermasalah?
Ketakutan yang diiringi dengan keinginan yang tak kalah besarnya untuk memasuki “hidup baru” itu barangkali bagi sebagian orang adalah sesuatu yang aneh. Namun, itulah yang saya rasakan. Saya berharap, ketakutan itu akan semakin berkurang saat saya terus berusaha memahami lembaga bernama pernikahan tersebut, ditambah lagi dengan “praktek” yang akan saya jalani. Apalagi jika suatu saat saya dipertemukan dengan orang yang tepat, seseorang yang mampu meyakinkan saya bahwa pernikahan itu memang salah satu keindahan yang diciptakan Allah buat manusia. Semoga....
Velbak, 29122005, 07.35
Comments